Andana Harimau Singgalang
Kerajaan Teratai Darah
1
Hujan membasahi Mayapada sejak semalam, suasana pagi terasa
dingin sendu. Dedaunan bergoyang basah tertimpa air hujan yang seakan
ditumpahkan dari angkasa, Hujan senantiasa memberikan kesejukan dan kesuburan,
ia menumbuhkan benih-benih tanaman dan harapan. Adakah kita mengambil makna dan
hikmah dari sang hujan ? adakah hujan di
hati umat manusia yang menyejukkan sanubari atau hati insan selalu dipenuhi
amarah murka, kebencian dan permusuhan. Demikianlah bahwasanya telah menjadi ketentuan
bahwa setiap kebaikan dan kebenaran akan ada keburukan dan kejahatan yang
memusuhinya sebab bisikan iblis durjana
akan tetap ada sepanjang hayat dunia. Semoga kebaikan dan pencerahan sang maha
kuasa senantiasa tercurah seperti hujan yang membasahi keringnya jiwa manusia
agar damai selalu meliputi isi semesta mayapada.
Di sebuah padepokan silat di kaki gunung Argopuro meski
hujan deras namun pelatihan tetap berlangsung. Padepokan Garuda Emas merupakan
Padepokan Silat yang memiliki beberapa bangunan yang besar dengan halaman yang
luas. Di ruangan luas aula untuk pertemuan Padepokan dan ada juga pelatihan di
halaman luas padepokan dibawah guyuran hujan, Murid-murid padepokan tetap
semangat mengikuti pengajaran yang diberikan. Padepokan silat ini sudah berdiri
sejak lama. Padepokan ini Bernama Padepokan Garuda Emas didirikan oleh Begawan
Rakajaya Permana, setelah dirasa cukup lama menurukan ilmu kanuragannya kepada
para murid padepokan sang Begawan mengundurkan diri dan mengasingkan diri moksa
dari kehidupan duniawi di puncak gunung Argopuro. Kini padepokan Garuda Emas
dipimpin oleh Murid kesayangan sang Begawan, Damar Bimasena, dengan
murid-muridnya berjumlah hampir Dwisata (dua ratus) orang banyaknya. Meski
berusia masih muda namun pemuda ini mewarisi hampir seluruh kesaktian sang
Begawan. Damar Bimasena berwajah gagah dengan perawakan tubuh kekar gemar
memakai pakaian ringkas serba merah dengan ikat kepala yang juga berwarna
merah. Damar Bimasena pagi-pagi sudah menyuruh para murid perguruan silatnya berlatih
beberapa jurus silat. Sesekali ia meluruskan kuda-kuda silat para muridnya yang
kurang tepat.
Pelatihan dilanjutkan dengan permainan senjata yakni
pelatihan menggunakan senjata dalam jarak dekat mengingat mereka berada di
ruang aula padepokan, senjata yang digunakan yakni pedang pendek dan belati.
Masing-masing murid mencari pasangan murid lainnya untuk berlatih bertarung satu lawan satu. Suara beradunya
senjata terdengar di Aula pedepokan Garuda Emas disertai suara seruan
murid-murid yang menyerang dan bertahan dalam pelatihan senjata itu. Setelah
memberikan arahan Damar Bimasena kemudian menuju sudut ruang aula padepokan
Dimana terdapat beberapa meja dan kursi kayu yang biasa digunakan untuk
menyambut tamu, pemuda ini kemudian duduk di sebuah kursi kayu. Matanya terus
mengawasi murid-murid padepokan silatnya berlatih.
“kangmas Damar sebaiknya minum teh dulu, ini aku bawakan teh
dan makanan kecil” satu suara terdengar disertai Langkah kaki. Damar Bimasena
menoleh, dari arah pintu seorang dara berpakaian ringkas merah muda membawa
baki, diatas baki itu nampak ada teko, cangkir dan sepiring makanan kecil
seperti jagung, singkong dan kacang rebus.
“Silahkan diminum kangmas !! mumpung masih hangat” dara
berbaju merah itu kemudian meletakkan baki
bawaannya di atas meja dihadapan Damar Bimasena kemudian dara itu menuangkan teh hangat ke cangkir.
“Terima kasih adikku Gantari !! tahu saja kalau kangmasmu
ini sedang dahaga” Damar Bimasena tersenyum. Pemuda ini mengambil cangkir
berisi teh diatas meja lalu menyeruputnya. Ia juga mengambil sepotong singkong
rebus dan melahapnya.
“Engkau minumlah teh bersamaku Gantari, duduklah disini” kata
Bimasena sembari menyodorkan cangkir berisi teh kepada adiknya itu.
Gantari mengambil cangkir berisi teh yang diberikan
kangmasnya, lalu duduk di kursi kayu dihadapan Damar Bimasena. Ia menyeruput
sedikit Teh hangat itu.
“Kangmas !! semalam aku bermimpi tidak bagus, sampai pagi
ini aku merasa tidak enak perasaan”
“Apa gerangan mimpi yang membuatmu risau adikku ?” tanya
Damar Bimasena. Ia Kembali menyeruput teh hangat dihadapannya.
Gantari menghela napas lalu menceritakan mimpinya “aku
merasa dalam mimpiku kita berdua berjalan-jalan pada sebuah taman bunga yang
indah, kemudian kita berdua melihat seekor burung Merak yang berbulu sangat
indah sedang bertengger di dahan sebatang
pohon dekat taman bunga itu, karena sangat menyukai merak itu aku
memintamu untuk menangkapnya”
“Kangmas Damar kemudian berusaha menangkap burung Merak itu
dengan memanjat pohon, namun Merak itu terbang dan hinggap ke dahan pohon
lainnya. Kangmas kemudian berusaha turun dari pohon dan bermaksud Kembali
mengejar Merak itu akan tetapi Kangmas menginjak bagian dahan pohon yang sudah
lapuk, kangmas terjatuh. Anehnya kangmas Damar tidak jatuh ke tanah tapi
kedalam sebuah jurang yang dipenuhi api besar berkobar di dasarnya sedang aku
berada ditepinya, tidak ada lagi taman bunga, dan yang membuat aku pun semakin
menjerit ketakukan dalam mimpi karena didasar jurang itu aku seolah melihat
padepokan kita yang dikobari api besar itu, aku berusaha menolongmu namun
kakiku tergelincir sehingga aku ikut terjatuh ke dalam jurang, aku kemudian
tersentak terbangun dengan sekujur tubuh basah oleh keringat, semalaman aku
tidak bisa tidur lagi” Gantari menutup ceritanya dengan mimik wajah risau.
Damar Bimasena tertegun sejenak mendengar penuturan mimpi
dari adiknya, ia lalu berkata “Mimpi memang terkadang adalah sebuah petunjuk
adikku namun kebanyakan daripadanya hanyalah sebuah bunga tidur saja, tak
perlulah engkau larut dalam kerisauan hati” hibur pemuda itu meski hatinya juga
bertanya-tanya apa arti dari mimpi itu.
“Tapi aku
takut akan terjadi apa-apa dengan kita atau padepokan ini kangmas ? apa perlu
kita meminta petunjuk mahaguru Begawan
di puncak Argopuro ?” risau Gantari.
“Memang sebaiknya demikian Gantari, setelah hujan reda
mungkin sebaiknya aku segera berangkat ke puncak Gunung Argopuro menemui
mahaguru”
“Iya kangmas, lagi pula kangmas sudah lama tidak menyambangi
mahaguru disana” kata Gantari pula sembari meneguk teh hangatnya dengan
perasaan tak enak hati.
***
Puncak Gunung Argopuro
merupakan pedataran yang cukup luas dengan Semak belukar dan pepohonan, suasana
meski cerah namun Terik matahari
tertutupi dengan sejuknya udara dipuncak gunung. Disisi timur lereng
gunung, sesosok tubuh berpakaian serba hitam berlari cepat menuju puncak. Jika
diamati lebih dekat sosok tubuh ini memakai pakaian jubah serba hitam bergaris
kuning dengan motif bunga Teratai merah darah kecil memenuhi seluruh bagian
jubah. Wajah orang ini tak tampak karena tertutup caping bambu dengan kain
serba hitam yang mengelilingi bagian bawah pinggiran caping seperti jubahnya
kain penutup caping ini juga bermotif bunga-bunga
Teratai merah kecil.
Orang bercaping ini berlari sangat cepat dan ringan meniti
bebatuan gunung yang licin dan Semak belukar lebat hingga dalam waktu tak lama
orang ini sudah sampai di puncak, matanya yang tajam menembus kain penutup
caping meneliti keadaan sekitar, di puncak gunung Argopuro diantara kerindangan
pepohonan ia melihat sebuah pondok kecil tanpa dinding yang sudah reyot.
Atapnya yang terbuat dari rumbia sudah banyak yang jebol termakan usia, diatas
lantai papannya yang lapuk duduk bertapa seorang kakek berpakaian seorang
Begawan berwarna kuning kunyit, meski usianya sudah diatas setengah abad namun
terlihat masih memiliki kukuh, rambutnya putih disanggul ke atas dengan cambang
bawuk lebat yang juga berwarna putih. Orang bercaping ini menuju ke depan
pondok dan berdiri tiga tombak dihadapan sang kakek berpakaian Begawan. Mata
sang Begawan tertutup rapat dan hanyut dalam pertapaannya. Cukup lama orang
bercaping menunggu sembari rangkapkan kedua tangannya. Sang Begawan tak juga
bergerak seolah tak mengindahkan adanya orang dihadapannya
“Begawan Rakajaya !! ternyata engkau masih hidup !! begini
caramu menyambut tamu !!” orang bercaping berkata dengan mendengus.
Orang bercaping tak kunjung
mendapatkan jawaban kemudian berseru
keras “engkau tak mengindahkan perkataanku Begawan tua !! apa telingamu sudah
tuli”. Meski dibentak dengan suara keras sang Begawan hanya diam tak bergeming
“Jahannam orang tua tak berguna !! mampuslah kau !!” penuh
rasa kesal orang bercaping hantamkan satu pukulan tangan kosong ke arah Begawan Rakajaya. Suara pukulan tangan
kosong orang bercaping terdengar menderu keras menandakan ketinggian tenaga
dalam orang bercaping itu tak bisa dibuat main.
Didepan sana Begawan Rakajaya masih dalam keadaan bersemedi,
sikapnya tenang meski maut mengintai. Sesaat lagi pukulan tangan kosong akan
menghantamnya tubuh Begawan Rakajaya tiba-tiba menghilang. Pukulan tangan
kosong orang
bercaping menghantam pondok reot hingga hancur berantakan lalu angin pukulan
terus melaju menghantam sebatang pohon sebesar paha orang dewasa hingga tumbang
bergemuruh. Dapat dibayangkan jika pukulan tenaga dalam tinggi itu menghantam
tubuh sang Begawan.
Manusia bercaping terperangah melihat Gerakan menghindar
cepat dari Begawan Rakajaya, ia merasakan sambaran angin dari atas, orang
bercaping ini bukan pula orang sembarangan, merasakan ada serangan dari atas
dia mendongak dan hantamkan tangannya ke atas
“Bukkkkkk” tampak dua lengan
saling beradu. Orang bercaping merasakan tubuhnya seperti terhenyak ke dalam
bumi, kakinya terpendam semata kaki ke dalam tanah akibat beradu lengan yang
mengandung tenaga dalam tinggi. Sementara di udara tubuh sang Begawan terpental
ke udara setinggi dua tombak. Begawan Rakajaya berjumpalitan di udara dan
mendarat dengan dua kaki ditanah. Tampak tangan sang Begawan kemerahan akibat
beradu lengan tadi. Sang Begawan menatap dengan sorot mata dingin ke
arah orang bercaping dihadapannya “siapa kau kisanak !! apa kau tidak pernah
diajarkan tata krama untuk tidak mengganggu orang yang sedang bersemedi ?”
suara sang Begawan terdengar dingin.
“tata krama tak diperlukan lagi untuk orang yang akan
menghadap malaikat maut sepertimu Begawan !! aku kemari bukan untuk
bertatakrama dengamu” sergah manusia bercaping.
“jadi apa keperluanmu kisanak ? kau juga telah menghancurkan
pondokku untuk bersemedi” tanya Begawan Rakajaya pula.
“Tujuanku kemari adalah mengajakmu bergabung dan tunduk
dibawah kekuasaan Kerajaan Teratai Darah, jika engkau bersedia mengingat
kehebatan namamu aku sebagai sang junjungan akan memberikanmu jabatan yang
tinggi”
“Kalau aku menolak ?”
“Kalau engkau menolak maka kematian adalah jalan pilihanmu
Begawan !!”
“kematian adalah urusan dewa kisanak bercaping !! dan aku
tak sudi bergabung dengan kerajaanmu, silahkan tinggalkan tempat ini namun satu
kakimu tinggalkan disini sebagai pengganti kerusakan pondokku”
“Jahannam haram jadah !! kau memilih mati Begawan !! lihat
serangan” seru Manusia bercaping. Tangannya menderu ke depan dengan kecepatan
kilat. Begawan Rakajaya merasakan hantaman orang bercaping di depannya seperti
tekanan dinding angin yang kuat. Sang Begawan dengan cepat kelitkan tinju lawan
yang mengarah dada. Masih dalam posisi berkelit ke samping Begawan Rakajaya
pukulkan tangan kanannya ke arah kepala manusia bercaping berjubah hitam. Orang bercaping yang mengetahui kepalanya jadi
sasaran lawan rundukkan kepalanya
sejajar perut lawan sehingga pukulan tangan Begawan Rakajaya hanya lewat dua
kilan diatas kepala manusia bercaping. Pukulan tangan sang Begawan meski tidak
mengenai sasaran tapi masih terasa seperti himpitan batu di kepala manusia
bercaping.
Melihat perut lawan dalam keadaan terbuka, Manusia bercaping
sodokkan Kembali tinjunya ke arah perut. Begawan Rakajaya yang mengetahui
serangan lawan mencoba menangkis serangan lawan dengan memukulkan tangannya ke
bawah. Namun ia kecele, sebab serangan itu hanya tipuan saja, manusia bercaping
Tarik serangan tangannya yang ke arah perut, ia
mundur dua Langkah lalu dengan kecepatan kilat tendangkan kaki kanannya
ke kepala sang Begawan. Begawan Rakajaya Permana sedikit kaget mendapatkan
serangan cepat itu, dengan segera ia melakukan Gerakan kayang ke belakang
menghindari tendangan lawannya. Masih dalam keadaan kayang tubuh sang Begawan
kemudian melenting ke udara setinggi dua tombak lalu ia hantamkan pukulan hebat
dari udara. Cahaya biru menggulung cepat keluar dari telapak tangan sang
Begawan ke arah Manusia bercaping.
“Pukulan Dewa Samudera Murka !! apa hebatnya” seru manusia
bercaping lalu balik menghantamkan tangannya. Serangkum sinar merah panas
menderu dan beradu dengan pukulan Dewa Samudera Murka. “Buuummm” letusan keras
terdengar Ketika dua pukulan sakti bertemu, Tanah bergetar hebat. Pecahan dua
pukulan itu menghantam pepohonan dan Semak belukar disekitar hingga cabang dan
Semak hangus menghitam. Begawan Rakajaya Permana yang masih diudara terpental
ke belakang akibat beradunya pukulan, ia menjejakkan kakinya ke tanah dengan
limbung. Dadanya berdenyut sakit seperti dihantam palu godam lalu ada lelehan
darah dari sela bibirnya, ia mengalami luka dalam meski tak seberapa
parah.
“Tingkat tenaga dalam orang bercaping ini tidak bisa dibuat
main, siapa dia sebenarnya ?” gumam Begawan Rakajaya.
Di depan sana tertekut lutut Manusia bercaping, wajahnya
pucat seputih kertas, ia pegangi dadanya yang juga berdenyut sakit. Aliran
darahnya tak beraturan. Pandangan matanya dari balik kain caping
berkunang-kunang melihat sekitar.
“Begawan tua bangka ini akan
merepotkan jika tak segera kuhabisi” katanya. Dengan disertai suara keras
Manusia bercaping Kembali menyerbu ke depan, ia mainkan jurus-jurus silat
dengan Gerakan kilat. Mendapati lawan Kembali menyerang, Begawan Rakajaya mau
tak mau harus melawan juga, karena tahu lawannya memiliki tenaga dalam dan ilmu
silat tinggi sang Begawan tanpa ragu lagi segera keluarkan jurus-jurus silat
simpanannya. Perkelahian dua orang ini luar bisa disertai Gerakan-
gerakan kilat sehingga yang tampak hanya bayangan hitam dan
kuning. Tak terasa perkelahian keduanya sudah memasuki jurus ke delapan belas.
Meski terluka di dalam tak mudah bagi orang bercaping menaklukkan sang
Begawan.
Memasuki jurus ke dua puluh tujuh, mengetahui lawan masih
sangat Tangguh, Begawan Rakajaya hantamkan pukulan sakti andalannya “Dewa Angin
Menggulung Gunung”, Cahaya abu
mengandung hawa dingin dan mengeluarkan suara deru seperti badai
menggebubu menghantam ke arah manusia bercaping. Orang bercaping yang mengaku
Sang Junjungan Teratai Darah ini berseru kaget melihat kedahsyatan pukulan
lawan. Ia tekuk kedua lututnya menghimpun tenaga dalam dari pusar menuju
ketangan lalu balas menghantam dengan tangan kanannya.
Sinar tiga warna mencuat panas menyambut pukulan Dewa Angin
Menggulung Gunung yang dihantamkan Begawan Rakajaya, kedua pukulan bertemu dan
bergulung di udara. Deru angin dingin yang keluar dari dua telapak tangan
Begawan Rakajaya yang disertai kekuatan tenaga dalam penuh tertahan oleh
pukulan lawan seolah terbendung oleh tembok baja yang sangat atos. Ketika ia berusaha
melipatgandakan tenaga dalamnya dadanya mendenyut sakit.
Semakin Begawan Rakajaya bertahan semakin sakit dadanya lalu tak tertahankan
lagi ia semburkan darah kental dari mulutnya pertanda luka dalamnya semakin
marah. Melihat keadaan lawan, orang
bercaping tak berhenti menyerang ia malah lipatgandakan tenaga dalamnya.
‘Menyerahlah Begawan !! nyawa busukmu akan ku ampuni jika kau
bergabung !!” seru orang bercaping.
“Mati lebih baik daripada bergabung dengan iblis sepertimu !”
Begawan Rakajaya menjawab dengan suara bergetar. Dalam keadaan mengadu tenaga
dalam Begawan Rakajaya tertekuk lutut keadaanya kritis, namun pantang baginya
menyerah. Ia meludah ketanah, ludahnya bercampur darah kental. Dengan teriakan
merobek langit Begawan Rakajaya tambah tanaga dalamnya ke Tingkat paling
tertinggi. Di depan sana Orang bercaping merasa tubuhnya seperti remuk dihantam
tenaga dalam, pakaiannya berkibar keras dihantam angin pukulan lawan. Suasana
ditempat itu benar-benar dalam keadaan porak poranda.
“Jahannam !! Jika tak kubereskan segera, tubuhku bisa jadi
saringan” tangan kiri Orang Bercaping tibatiba diangkat dan dengan tangan ini
dia Kembali lancarkan pukulan sakti dengan kempiskan perutnya. Inilah satu
pertanda bahwa dia kini menghadapi lawan dengan seluruh tenaga dalam yang ada!
Sinar tiga warna semakin garang menggelung pukulan Dewa Angin Menggelung
Gunung. Begawan Rakajaya Permana tidak sanggup lagi bertahan , puncaknya ia
tersapu pukulan lawan, ia menjerit pendek lalu tubuhnya mencelat mental dan
menyerangsang ke tanah dengan keadaan hitam gosong.
Pukulan Dewa Angin Menggelung Gunung meski berhasil
dimusnahkan tapi angin pukulannya masih menyerempet bahu Orang Bercaping, ia
terpuntir jatuh. Dadanya sesak dengan napas tersengal, kedua tangannya terasa
kaku sebab mengeluarkan pukulan dengan tenaga dalam tinggi. Ia terjerembab ke
tanah dan merasakan ludahnya asin darah mengalir dari sela bibirnya. Cukup lama
orang bercaping ini terbaring baru setelah napasnya terasa sedikit lega ia
bangkit dan mengatur napas serta aliran darah.
“Begawan tolol ! jika kau menurutiku, nyawa tololmu tidak
akan melayang seperti ini” Ia meludah ke arah mayat Begawan Rakajaya. Dengan
ujung jarinya ia menyeka darah di mulutnya. Menggunakan Tenaga dalam Orang
bercaping ini lalu guratkan angka “212” pada lamping batu disamping mayat Begawan
Rakajaya Permana. Dengan Gerakan sangat cepat orang ini berkelebat tinggalkan
puncak Argopuro.
2
Suasana kedai Ki Darmo di kaki gunung Sindoro tampak ramai
pengunjung apalagi cuaca siang hari cukup mendung dan angin berhembus dingin
karena mengandung kadar air tentu membuat perut para tamu semakin lapar. Kedai
Ki Darmo meski dibangun dengan bahan papan dan kayu yang sederhana beratapkan
nyiur kelapa namun ruang makan kedai cukup luas serta nyaman. Ditambah dengan
makanan dan minuman yang lezat,
pelayan-pelayannya ramah serta cantikcantik semakin membuat pengunjung
suka makan disini dan betah berlama-lama. Diantara para pelayan yang cantik
itu, ada satu yang menjadi Bunga kedai. kecantikannya membuat banyak pria
tergila-gila yakni anak gadis Ki Darmo sendiri. Nama gadis ini Rarani, memiliki
tubuh sintal padat dengan dada besar membusung, matanya yang tajam menusuk hati
yang menatapnya dengan bulu mata lentik. Jika gadis ini berjalan lenggak
lenggok mengantarkan makanan pesanan para pengunjung membuat para lelaki yang
ada dalam kedai berdecak kagum sekaligus meleletkan lidah melihat kebagusan
tubuh Rarani.
Para pengunjung kedai juga bisa menikmati makanan dan
minuman sembari memandang keindahan gunung Sindoro yang menjulang tersaput
awan. Diantara pengunjung kedai tampak lima orang berseragam prajurit
kesultanan Demak yang ditugaskan untuk kadipaten. Melihat seragam kelimanya
tentu mereka bukanlah prajurit kelas bawah tapi sekelas perwira menengah
kesultanan Demak. Mendapati tamu Kerajaan Ki Darmo mendatangi dengan ramah
mempersilahkan para tamunya kemudian menyuruh para pelayan untuk segera
menghidangkan makanan dan minuman terenak di kedai. Kelima perwira menikmati
makanan yang tersaji di hadapan mereka Nasi hangat, ayam panggang serta lauk
pauk yang masih mengepulkan asap.
“Kawan-kawan apakah siang ini dipastikan Gusti puteri Ratu
Ayu Wulan akan lewat sini ?” tanya salah seorang perwira. Tampaknya ia
merupakan pimpinan dari kelima perwira itu. Perwira ini berwajah gagah berusia
sekitar empat puluh tahunan.
“Benar kangmas Indralaya !! menurut kabar dari kadipaten
dipastikan rombongan kesultanan Demak akan lewat tengah hari, para prajurit
berkepandaian sudah disiagakan di tiap perbatasan untuk menjaga keselamatan
gusti puteri” jawab salah seorang perwira.
“Bagus ! kita harus melakukan pengawalan secara ketat agar
memastikan keselamatan Tuan Puteri mengingat sekarang ini sedang ramainya
kejadian kejahatan yang disebabkan oleh Kerajaan Palsu yang menamakan diri
Kerajaan Teratai Darah” kata Perwira Bernama Indralaya sembari melahap potongan
paha ayam panggang ditangannya.
“Kalian pastikan bahwa semua prajurit penjaga dalam keadaan
siaga, jangan sampai hal-hal yang tidak diinginkan terjadi” kata Indralaya
pula.
“Mengenai
Kerajaan Teratai Darah ini apakah Kerajaan sudah melakukan penindakan terhadap
kejahatan mereka kangmas indra ?” tanya perwira lainnya.
“Kerajaan sudah
berusaha melakukan usaha-usaha penumpasan tapi Serikat kejahatan yang menamakan
Kerajaan Teratai Darah ini sangat Tangguh dengan banyak prajurit dan
tokoh-tokoh golongan hitam yang bergabung, beberapa kali pasukan kerajaan baik
dari Demak maupun Blambangan berusaha menumpas mereka tapi semua prajurit yang
masuk ke hutan Gunung Raung tak pernah kembali lagi” Indrajaya menerangkan lalu
teguk air putih dalam cangkir tanah dimeja kayu dihadapannya.
“Kalian tidak perlu menjaga keselamatan tuan puteri ! kalian
justru harus menjaga keselamatan diri kalian sendiri saat ini hahaha” satu
suara keras disertai gelak tawa terdengar dari pintu kedai. Membuat para
perwira menghentikan makan mereka dan menoleh cepat.
Di pintu masuk kedai terlihat tiga orang lelaki berpakaian serba hitam garis kuning dengan
corak bunga Teratai merah darah. Golok besar dengan gagang berbentuk kepala
ular kobra tersampir dipinggang ketiganya. Ketiga lelaki ini memiliki wajah yang
dicat dengan warna yang berbeda, ada yang berwarna merah, kuning dan hitam.
Dari pakaian ketiganya jelas diketahui bahwa mereka adalah para punggawa
Kerajaan Teratai Darah. Sebuah Kerajaan yang konon katanya berada di Hutan kaki
Gunung Raung, entah bagaimana rupa Kerajaan ini banyak yang tidak tahu. Namun
sepak terjang para prajurit dan punggawanya sangat meresahkan penduduk sebab
mereka lebih tepatnya disebut perampok, pemeras dan penculik gadis-gadis muda.
Kehadiran ketiga orang dari Kerajaan Teratai Darah itu membuat suasana menjadi
gaduh, banyak para pengunjung yang ketakutan melihat kedatangan ketiganya
segera ambil Langkah seribu meninggalkan kedai. Ki Darmo sendiri pucat pasi
mukanya membayangkan jika terjadi
perkelahian tentu membuat kedainya porak poranda, ia juga mengkhawatirkan keselamatan
puterinya Rarani.
“Tiga Golok Kobra !! kalian sudah menjadi orang – orang
Kerajaan Teratai Darah” seru Indralaya. Ia dan keempat perwira lainnya segera
mengambil sikap siaga dengan memegang gagang pedang yang tersampir dipinggang
masing – masing, Indralaya yang kenyang pengalaman tahu siapa Tiga Golok Kobra,
tokoh golongan hitam yang malang melintang di Jawa Bagian tengah hingga
timur.
“Kalian anjing – anjing Kerajaan sebaiknya menyerah dan
tunduk ke dalam Kerajaan Teratai Darah ! kalian perwira tentu akan mendapatkan
jabatan yang tinggi dari Sang Junjungan” seru salah seorang dari Tiga Golok
Kobra yang bermuka merah. Ia dikenal dengan nama Kobra Merah sedangkan kedua
lainnya yakni Kobra Kuning dan Kobra Hitam.
“Jaga mulut kalian ! kami perwira kesultanan Demak tidak
segan-segan membinasakan kalian para penjahat yang merusak kedamaian penduduk,
segera berlutut dan serahkan diri kalian” bentak salah seorang perwira dengan
muka merah karena marah.
“Hahaha mimpimu ketinggian perwira ! kalian yang harus
tunduk kepada kami karena Kerajaan Teratai Darah akan segera menguasai seantero
tanah Jawa ini” ejek Kobra Hitam dengan tertawa.
“Mimpi
kalian yang tak masuk akal Tiga Golok Kobra, Tiga curut mau menjadi Harimau,
Ha..Ha..Ha” balas Indralaya.
“Bedebah !! mampuslah kalian anjing-anjing Demak !!” Kobra
Merah cabut golok besarnya lalu menerjang ke depan. Disusul Kobra Hitam dan
Kobra Kuning.
Mendapati lawan menyerang, Indralaya cabut pula pedangnya
Bersama keempat perwira lainnya. Pertempuran lima perwira melawan Tiga Golok
Kobra segera tersaji di kedai Ki Darmo. Para pelayan menjerit ketakutan, Ki
Darmo Bersama Rarani segera menyingkir menyelamatkan diri. Lima pedang perwira
Demak berkiblatan mencari sasaran ditubuh Tiga Golok Kobra. Tiga Golok Kobra
juga menebaskan golok mereka dengan sebat. “Trang Trang” suara beradu nya
senjata tajam terdengar berkumandang berulang kali di dalam kedai.
Kobra Hitam menyerang Indralaya dengan sabetan menukik dari
atas. Indralaya yang mengetahui serangan lawan segera berkelit ke samping
sembari tebaskan pedangnya kea rah pinggang lawan. Sabetan Golok Kobra Hitam
yang tidak mengenai sasaran mengenai meja kedai hingga terbelah dua akibatnya
makanan dan minuman diatasnya berhamburan kemana-mana. Kobra Hitam dengan Gerakan
cepat segera menangkis tebasan pedan lawan “Trangggg” bunga api memercik Ketika
pedang Indralaya dan Golok Kobra Hitam beradu. Tangan sang perwira bergetar
akibat beradunya kedua senjata itu.
Sementara Kobra merah meladeni dua perwira Demak. Golok
besarnya menderu – deru. Dua perwira Demak membalas pula dengan tebasan pedang
mereka dengan sebat. Dua perwira tampak berada dibawah angin sebab serangan
golok Kobra Merah mengandung deru angin yang kuat karena mengandung tenaga
dalam yang cukup tinggi. Kedua perwira ini merasakan seperti melawan tembok
angin, beberapa kali serangan golok Kobra Merah hampir mencelakakan keduanya.
Memasuki jurus ke tujuh, kedua perwira Demak ini tak sanggup bertahan. Salah
seorang perwira menangkis tebasan golok Kobra Merah dengan lemah karena
tangannya sudah licin akibat keringat. Akibatnya pedang sang perwira patah dua
dan tebasan golok Kobra merah tepat membelah dadanya. Jeritan keras keluar dari
mulut perwira ini dibarengi semburan darah dari luka besar yang menganga dari
dadanya, ia kemudian roboh ke tanah dengan mata mendelik. Para Perempuan
pelayan menjerit ketakutan dan berhamburan lari meninggalkan kedai.
Melihat temannya mati, perwira kawannya menghadapi Kobra
merah dengan kecut, ia melawan Kobra Merah dengan perasaan gamang akibatnya
“Bukkkk” satu tendangan Kobra Merah menghantam dadanya hingga remuk. Sang
perwira sempoyongan pegangi dadanya yang hancur, belum lagi tubuhnya melosoh ke
lantai “Crassss” satu tebasan dari golok Kobra Merah ke arah leher memisahkan kepala
sang perwira dari tubuhnya. Kepala itu menggelinding ke lantai kedai. Tubuh
perwira Demak itu terbanting dengan darah menyembur dari lehernya yang
terkutung.
Disisi lain
Kobra Kuning bertempur melawan dua perwira lainnya sudah memasuki jurus ke sepuluh.
Mengetahui kedua kawannya sudah mati, kedua perwira ini menyerang Kobra Kuning
dengan membabi buta hingga seantero isi kedai porak poranda. Kobra Kuning
mainkan jurus “Kobra menari mematuk tikus” untuk menghadapi serangan ganas
kedua perwira itu. Tubuhnya meliuk-liuk seperti ular kobra menghindari serangan
pedang kedua perwira dan puncaknya “Trakkkk Trakkk” golok besar Kobra Kuning
berhasil mematahkan pedang kedua perwira Demak. Mendapati serangan mereka tak
satupun mengenai Kobra Kuning, kedua perwira lemparkan semua benda yang ada di
dekat mereka ke arah Kobra Kuning. Mudah saja bagi Kobra Kuning meruntuhkan
serangan-serangan itu, salah seorang perwira melemparkan kursi kayu. Kobra
Kuning melesat cepat menghindar lalu dengan Gerakan kilat ia tebaskan goloknya
dan “crasssss, crassssss!!” kepala dan dada kedua perwira terbelah kena sabetan
golok Kobra Kuning. Diiringi jeritan setinggi langit kedua perwira tewas dengan
kelonjotan. Lemparan Kursi kayu yang tadi dilemparkan salah seorang perwira ke
arah Kobra Kuning menderu ke sudut kedai Dimana sedang tidur atau tiduran
diatas balai bambu seorang pemuda berpakaian rompi putih, ia memakai Destar
(Ikat kepala khas Melayu) yang juga berwarna putih. Kursi kayu menghantam
dinding pojok kedai dua kilan diatas kepala sang pemuda membuat sang pemuda
terlonjak dari balai bambu.
“Kutu kupret !! lagi enak-enakan tidur habis makan kenyang
ada saja gangguan” hupp dengan Gerakan cepat pemuda berompi putih itu ambil
patahan kursi kayu dan tanpa terlihat karena sangat cepat lemparkan patahan
kayu itu ke arah Kobra Hitam yang saat itu hendak menebas kepala Indralaya.
“Trakkkkkk” patahan kursi kayu meski hanya sepotong kayu namun berhasil
menangkis tebasan golok Kobra Hitam. Golok Kobra Hitam terlepas dari
pegangannya, ia merasakan tangannya bergetar kesemutan. Dengan penuh amarah ia
menoleh ke arah pemuda yang melempar potongan kursi kayu.
“Keparat laknat !! bocah keparat !! siapa kau ??” ia
membentak dengan melotot, raut wajahnya menandakan kemarahan.
“Aku bocah keparat seperti yang kau bilang tapi tidak
sekeparat kalian, sudah keparat jelek lagi Ha..Ha..Ha” jawab pemuda berompi
putih dengan tertawa lepas.
“Bedebah !!
mampuslah kau bocah” dengan kecepatan tinggi ia tetakkan pedangnya ke kepala
pemuda berompi putih dalam jurus Kobra menggelung mangsa.
“Ahhh hanya jurus cecunguk menggaruk bokong, siapa takut”
seru pemuda berompi putih. Ia putar tubuhnya setengah lingkaran berkelit
hindari serangan golok lawan. Lalu pemuda berompi putih tendangkan kaki
kanannya ke arah bokong Kobra Hitam.
“Awas bokongmu kera hitam !! ehh kobra hitam !! teriak
pemuda berpakaian rompi putih.
Panas hati Kobra Hitam dihina sedemikian rupa oleh seorang
pemuda. Ia Tarik bokongnya menghindar sembari tebaskan goloknya ke kaki sang
pemuda. Pemuda berompi putih segera Tarik kakinya lalu ganti sodokkan sikutnya
ke perut lawan “Bukkkk” tepat sasaran. Kobra Hitam tertekuk punggung mendapati
ulu hatinya kena sodok sikut lawan, sakitnya sodokan sang pemuda berompi putih
membuat Kobra Hitam sesak dengan napas tersengal.
“Aduhhh mande (ibu) !! sakitnyo tak seenak makan ikan asin
pedo !!” ejek pemuda berompi putih lalu tertawa.
Melihat Kobra Hitam dipermainkan lawan dengan marah Kobra
Merah dan Kobra Kuning menyerang pemuda berompi putih. Tidak tanggung –
tanggung tiga golok berkesiuran berebut mencari sasaran di kepala dada dan
perut pemuda berompi putih seperti kesetanan ketiganya menyerang dengan
kecepatan tinggi.
Pemuda yang
diserang hanya tertawa seakan tidak menyadari bahaya yang mengancam jiwanya.
Sesaat lagi tubuh sang pemuda akan terkutung dan terbelah, ia bersuit keras dan
seperti tak terlihat ia melompat ke atas tiang balok kayu penyanggah atap kedai
menghindari seragan golok Tiga Kobra. Dari atas ia hantamkan pukulan tangan
kosong, derasnya angin pukulan sang pemuda menggebubu ke arah Tiga Kobra.
Ketiga anggota Kerajaan Teratai Darah ini berseru kaget dan segera balas
menghantam. “Buuummmm” kedai Ki Darmo seperti dihantam gempa dan badai, kedai
Ki Darmo dengan suara berderak dan bergemuruh roboh. Untung Indralaya, Ki Darmo
beserta anaknya segera menghambur lari keluar kedai. Tiga Golok Kobra terpental
kalang kabut tersapu oleh pukulan “Angin
Limbubuh” sang pemuda berompi dan berdestar putih.
“Pemuda itu bukan tandingan kita, ayo lekas tinggalkan
tempat ini” seru Kobra Merah. Ia pegangi dadanya yang sesak, tampak lelehan
darah keluar dari sela bibirnya menandakan ia terluka dibagian dalam. Kobra
Hitam dan Kobra Kuning yang juga terluka dalam segera angkat kaki tinggalkan
tempat itu. Ketiganya hantamkan pukulan sakti ke arah pemuda berompi putih di
depan sana yang baru keluar dari reruntuhan kedai Ki Darmo, sang pemuda
kebutkan kedua tangannya memukul ke depan, dua rangkum pukulan tangan kosong
membuyarkan pukulan ketiga golok kobra. Ketika dalam pelariannya, Kobra Hitam
melirik ke arah Rarani yang saat itu terduduk di luar kedai, Timbul niat jahat
lelaki ini untuk melarikan sang dara. Dengan cepat ia sambar tubuh Rarani dan
memanggulnya dibahu. Perempuan muda anak Ki Darmo ini menjerit ketakutan
mendapati tubuhnya diboyong. Seperti melayang Kobra Hitam melarikan tubuh sang
gadis.
“Sudah dikasih kesempatan hidup malah mencari maut, dasar
Jahannam !!” satu suara Perempuan membentak disertai sekelebat bayangan biru
muda dan “bukkkkkk” satu Jotosan keras menghantam remuk dada kobra hitam hingga
melesak ke dalam, tubuh Rarani terpental dari panggulannya. Lelaki ini menjerit
keras lalu terbanting ke tanah, Mati. Bayangan biru segera sambar tubuh Rarani
dan mendarat ke tanah dengan kedua kaki yang mantap. Melihat kematian kawannya,
Dua Golok Kobra yang ciut nyalinya segera mempercepat larinya tinggalkan tempat
itu. Pemuda berompi putih, Indralaya dan Ki Darmo segera mendatangi. Disana dua
tombak dihadapan ketiga orang ini, berdiri seorang dara cantik jelita
berpakaian ringkas warna biru muda berambut Panjang berwarna pirang sedang
memanggul Rarani, ia lalu turunkan tubuh sang dara yang langsung lari memeluk
ayahnya, Ki Darmo.
“Terima kasih atas pertolonganmu nak, tuhan mengirimkan
bidadari untuk meyelamatkan anakku” Ki Darmo berkata sembari membungkukkan
badannya mengucapkan terima kasih berulang kali.
Dara berambut pirang tersenyum mendengar perkataan Ki Darmo,
tampak dua lesung pipi muncul di pipi merona sang dara menambah kecantikannya.
“Aku bukan bidadari paman, aku pengembara yang hanya kebetulan lewat sini !
tadinya hendak makan dikedaimu tapi kulihat sudah berantakan karena
perkelahian”
“Bidadari secantikmu pandai merendah, kau tentunya gadis
rimba persilatan saudari !!” pemuda berompi putih yang tadi diam membuka suara.
Sang Dara menoleh ke arah pemuda berompi putih dan berseru tertahan.
“Wiro !!!! kau kah itu” wajah sang dara tersipu merah.
Pemuda yang selama ini dirindukan sang dara, Wiro, sang pemuda yang dikasihinya
itu.
Pemuda berompi putih
kerenyitkan dahinya dan tersenyum “Saudari kau salah orang !! perkenalkan
namaku Andana, kau sendiri siapa ?” tanya pemuda berompi putih yang ternyata
adalah Andana Harimau Singgalang, Pemuda dari Puncak
Singgalang.
“Wiro ! kau
bukan Wiro Sableng ! tapi mengapa wajah kalian berdua begitu serupa”
“Namaku Andana Saudari !! Wiro Sableng pendekar kapak maut
naga Geni 212 maksudmu ?” tanya Andana.
“betul saudara, Engkau kenal padanya Andana ?
“Nama Besar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 terkenal di
delapan penjuru angin saudari, aku tahu dari guruku mengenai pemuda itu, Sinto
Gendeng gurunya adalah sahabat lama guruku” (Mengenai pertemuan Wiro Sableng
dan Andana dapat dibaca di kitab mahakarya Bastian Tito episode Dendam Di
Puncak Singgalang dan Harimau Singgalang”, disini penulis mengembangkan ilmu
kesaktian dan tokoh Andana Harimau Singgalang versi sendiri, jadi seolah sang
pendekar belum pernah berjumpa dengan Pendekar 212 Wiro Sableng)
“Wajah keduanya sangat mirip !! akh Wiro dimanakah saat ini
kau berada” sang dara berkata lirih dalam hatinya. Segenap kerinduan melanda
jiwanya.
“Kau
memikirkan apa saudari ?” tanya Harimau Singgalang, membuat dara cantik
berambut pirang tergagau, Wajahnya bersemu merah.
“Tidak ada apa – apa Andana ! aku hanya.. ah sudahlah lebih
baik aku pamit melanjutkan perjalanan” jawab dara berambut pirang. Ia segera
hendak memutar tubuh tinggalkan tempat itu
“Saudari tunggu ! kemanakah tujuanmu ?” seru Andana mengejar.
‘Aku hendak melanjutkan perjalanan Andana” Jawab Dara
berambut pirang.
“bolehkah aku ikut denganmu saudari ? apakah kau tertarik
untuk menumpas gerombolan Kerajaan Teratai Darah” Tanya Harimau Singgalang,
wajahnya penuh harap.
“Sebaiknya aku segera pamit juga para saudara sekalian !
keamanan puteri Kesultanan Demak terancam sebab gusti puteri sedang dalam
perjalanan menuju Temanggung, aku mengucapkan banyak terima kasih atas bantuamu
Andana Harimau Singgalang dan saudari” Indralaya menyela lalu merangkapkan
kedua telapaknya didepan dahi memberi hormat.
“Ki Darmo, terimalah ini beberapa keping uang emas ! semoga
bisa membantu memperbaiki kedaimu yang hancur, nanti aku sampaikan perihal ini
kepada Sultan” Indralaya serahkan kantung uang kepada Ki Darmo membuat Ki Darmo
mengucapkan terima kasih berulang kali dengan sikap hormat. Indralaya lalu
berkelebat pergi tinggalkan halaman kedai Ki Darmo.
Dara berpakaian biru muda berambut pirang segera pula
berkelebat tinggalkan tempat itu. Andana berkelebat mengejar “Saudari siapa
namamu ? setidaknya kasih tahu namamu” tanya Andana dengan setengah
berteriak.
Dara berambut pirang berhenti sejenak dan tersenyum, engkau
terlalu memaksa Andana baiklah “Wiro dan para Sahabat memanggilku Bidadari Angin Timur” jawab sang dara
lalu berkelebat dengan cepat. dalam waktu singkat sang dara sudah lenyap di
kejauhan.
“Bidadari Angin Timur !! desis
Andana Harimau Singgalang. Ahhh Namanya seindah orangnya. Setelah
menimbang-nimbang, ia akhirnya berkelebat ke arah lenyapnya Indralaya sang
perwira Demak. Bagaimanapun sebagai rakyat, ia merisaukan keselamatan sang
puteri kesultanan Demak itu sekaligus mencoba menghentikan sepak terjang
gerombolan yang menamakan dirinya
Kerajaan Teratai Darah.
3
Kereta kencana berlapis logam kuning keemasan itu ditarik
sepasang kuda besar dengan saisnya seorang perwira muda. Kereta kencana mewah
itu merupakan milik kesultanan Demak Dimana membawa puteri kesultanan Demak
yakni Gusti puteri Ratu Ayu Wulan yang hendak menuju Temanggung. Sekitar Tiga
Puluh prajurit pengawal berjalan kaki bersenjata lengkap, tiga perwira berkuda
mengiringi kereta kencana disisi kiri kanan dan belakang. Puteri Ratu Ayu Wulan
duduk santai dalam kereta kencananya, dara canti puteri kesultanan Demak ini
tampak Anggun memakai kebaya khas Jawa lengkap dengan segala perhiasannya.
Matanya menikmati keindahan alam yang terbentang sepanjang perjalanannya. Tiga
pelayan Wanita muda duduk menemani sang puteri dalam kereta, mereka bertugas
menyiapkan segala keperluan sang Puteri sepanjang perjalanan.
Memasuki Lembah berhutan lebat, kereta kencana berjalan
sedikit melambat sebab medan jalan tanah yang licin apalagi sepertinya daerah
itu habis diguyur hujan membuat jalan tanah itu berlumpur dan tergenang air. Di
kiri kanan Lembah terdapat tebing berbatu yang ditumbuhi Semak belukar dan
pepohonan diatasnya. Belum lama rombongan Puteri Ratu ayu Wulan melewati Lembah
itu tibatiba terdengar suitan nyaring. Dari balik tebing di kiri kanan jalan
tampak melompat lebih dari dua puluh orang berpakaian Murid suatu padepokan
silat menghadang rombongan Puteri Demak, orang-orang ini bersenjatakan pedang
dan golok, melihat banyak orang tak dikenal melakukan penghadangan, para
pengawal pasukan Demak segera mengambil sikap siaga. Salah seorang perwira maju
ke depan dan membentak.
“Melihat
seragam pakaian kalian, kalian bukankah para murid dari padepokan Satya Darma !
apa yang kalian inginkan ?”
“Serahkan Puteri Ratu Ayu Wulan kepada kami ! kami
diperintah membawanya ke padepokan ! jika kalian menolak maka kalian semua akan
mati !’ Jawab salah seorang dari murid Padepokan, orang ini memakai Belangkon
berwarna merah”
“Siapa yang memerintah kalian ? setahuku Padepokan Satya
Darma bealiran putih”
“Jangan banyak tanya perwira !! kawan – kawan bantai mereka
!!” seru orang yang memakai Belangkon Merah.
tanpa basa - basi para murid Padepokan Satya Darma langsung
menyerbu ke arah rombongan pasukan Demak yang mengawal kereta kencana, Suasana
kacau balau terjadi. Ringkik kuda terdengar tiada henti. Pertempuran segera
berlangsung sengit, suara senjata tajam terdengar berdentringan, gebrakan cepat
dari para penghadang berhasil menumbangkan para prajurit pengawal. Para perwira
pengawal bertahan matimatian menghadapi para penyerbu, salah seorang dari perwira
cepat berteriak memberikan perintah kepada para prajurit agar melindungi kereta
kencana Dimana sang puteri Demak berada ketika tampak beberapa murid padepokan
Satya Darma yang berhasil menumbangkan beberapa pengawal Demak menuju ke arah
kereta kencana. Dua perwira muda lainnya
Bersama beberapa prajurit segera menghalau para murid padepokan itu dengan
cepat, pertempuran sengit Kembali terjadi di dekat kereta kencana.setelah
memberi perintah, perwira tadi lalu melompat ke depan sambil menetakkan
pedangnya ke arah orang berbelangkon merah yang sedang membabati para prajurit
Demak dengan tangannya.
“Perwira sepertimu pantasnya jadi pengurus kuda kerajaan
saja !! serangan tak becus seperti ini hanya untuk menakuti sapi !” Murid
Padepokan berbelangkon merah itu tertawa mengejek melihat serangan sang
perwira.
Mudah saja lelaki berbelangkon merah mengelitkan serangan
pedang sang perwira. Sang perwira berteriak marah karena merasa dipermalukan,
ia Kembali menyerang lelaki berbelangkon merah dengan membabi buta. Namun
sampai Lelah dan tangannya yang memegang gagang pedang berkeringat, tak satupun
serangannya mengenai tubuh lelaki berbelangkon Merah. Mendapati sang perwira
melemah, lelaki berbelangkon merah berkelebat cepat dan tiba-tiba “Prakkkkk”
satu keprakan keras tangan lelaki berbelangkon menghantam kepala sang perwira.
Tak ada jerit kesakitan lagi dari mulut sang perwira, hanya eluhan pendek,
kepalanya remuk dan ia terbanting ketanah mati dengan mata melotot.
Lelaki berbelangkon merah meludah ke tanah, lalu ia melompat
dua tombak ke udara dan diiringi pekikan ia hantamkan telapak tangannya, cahaya
merah panas luar biasa mengungkupi tempat itu menderu ke arah sisa pasukan
Demak. Dalam sekejap saja tempat itu seperti dalam neraka sebab panas pukulan
yang dihantamkan lelaki berbelangkon merah itu membuat sisa pasukan pengawal
Demak terpanggang hangus dan mati dengan jerit memilukan. Puteri Ratu Ayu Wulan
sendiri berteriak ketakutan Bersama para pelayannya. Mereka berpelukan dalam
kereta kencana. Mayat para pengawal Demak bertebaran mengerikan disekitar
tempat itu. Kusir kereta yang terluka dibagian dada mencoba menaiki kuda
bermaksud melarikan kereta kencana guna menolong puteri Ratu Ayu Wulan, belum
sempat ia menaiki kuda kereta, satu tendangan keras menghantam punggungnya.
Lelaki berbelangkon merah tendangkan kaki kanannya tepat ke punggung sang
perwira kusir kereta. Perwira bawah ini megap-megap lalu tergelimpang di dekat
roda kereta. Lelaki berbelangkon merah segera dekati pintu kereta dan
“Brakkkkkkkk
!! pintu kereta kencana dibuka paksa dari luar. Tampak Lelaki berbelangkon
merah menyeringai ke arah Puteri Demak beserta para pelayannya dari muka pintu
kereta yang jebol. Jerit ketakutan para Perempuan ini terdengar semakin kuat.
Puteri Ratu Ayu Wulan segera menghamburkan diri melalui pintu kereta kencana
disisi lainnya berusaha untuk melarikan diri namun Lelaki berbelangkon merah
segera mengejar dan “Hekkk” tubuh sang puteri terlebih dahulu kaku karena
Putera Api dengan gerakan kilat menotok sang dara di bagian leher. Begitupun
dengan Nasib ketiga pelayan muda sang puteri.
“Kalian segera amankan ketiga pelayan muda itu, periksa isi
kereta kencana jika ada barang berharga dan perhiasan” seru lelaki berbelangkon
merah.
Lelaki
berbelangkon merah segera memanggul tubuh sang puteri, ia berkelebat cepat
menuju kerapatan hutan disisi lamping tebing batu. Setelah melakukan penjarahan
dan penculikan, para murid padepokan Garuda Emas segera menyusul lelaki
berbelangkon kedalam hutan. Di kedalaman hutan lelaki berbelangkon berkata
“Lekas tanggalkan pakaian samaran” ia kemudian menanggalkan pakaian murid
padepokan Garuda Emas diikuti belasan lainnya. Dibalik pakaian mereka ternyata
ada pakaian lain serba hitam dengan motif gambar bunga Teratai merah darah
kecil rapi memenuhi kain pakaian, pakaian ciri khas Kerajaan Teratai Darah.
Dibalik pakaian lelaki berbelangkon merah, ia memakai jubah hitam dengan motif
yang sama yakni Teratai merah darah. Tangannya bergerak ke arah wajah melepas
sesuatu yang ternyata sebuah topeng tipis. Wajah asli lelaki berbelangkon merah
itu adalah wajah seorang pemuda gagah namun terlihat bengis dan angkuh. Ia
kemudian memberikan perintah lagi.
“Lekas tinggalkan tempat ini !
aku sengaja tidak membunuh kusir kereta kencana agar dia bisa memberikan
laporan kepada Demak bahwa rombongan Padepokan Garuda Emas yang
melakukan penculikan ini Ha..Ha..Ha”
“Baik yang mulia wakil Junjungan kami Putera Api ! seru para
anggota Kerajaan Teratai Darah
“Bagus ! kerja kalian bagus ! tentu sang junjungan akan
memberikan kalian pangkat dan jabatan yang tinggi atas keberhasilan kita ini”
Putera Api memberikan isyarat agar segera tinggalkan tempat itu, ia memanggul
tubuh Puteri Ratu Ayu Wulan diikuti para anggota Kerajaan Teratai Darah
lainnya.
Ternyata Putera Api atau Arey
Kertawijaya, pendekar golongan hitam cabang atas dari puncak Mahameru, sang
musuh bebuyutan Andana
Harimau Singgalang sudah
menjadi wakil junjungan Kerajaan Teratai Darah (mengenai siapa Putera Api bisa dibaca
di Serial Andana Harimau Singgalang
Episode ke 4 “Topan Prahara di Tanah Jawa”)
***
Kira-kira sepenanakan nasi lamanya setelah rombongan Teratai
Darah menyerbu dan menculik Puteri Ratu Ayu Wulan, Indralaya baru tiba di
tempat itu. Betapa terkejutnya sang perwira melihat keadaan di Lembah itu.
Mayat pasukan pengawal Demak tampak bertebaran di sekitar Lembah, kereta
kencana tampak rusak pintunya, kuda penarik tergelimpang di depan kereta.
Indralaya segera mendekati kereta kencana, ia mencari keberadaan Tuan Puteri
Ratu Ayu Wulan namun kereta dalam keadaan kosong. Telinganya mendengar suara
erangan, matanya membentur sosok perwira muda yang menjadi sais kereta
tergelimpang sekarat di roda kereta. Segera perwira Demak ini mendekati sais
kereta kencana, ia mengalirkan tenaga dalam mencoba memberikan pengobatan dalam
meski ia tahu keadaan sang sais itu sudah tipis kemungkinan untuk diselamatkan.
Mendapatkan aliran tenaga dalam, sang sais membuka matanya sedikit,
pandangannya kabur.
“Perwira muda ! aku Indralaya
perwira Demak,
katakan apa
yang terjadi ditempat ini ?”
Sang sais mengerang, terbata-bata ia menjawab “ka..mi
diserang Para murid padepokan Garuda Emas, gusti puteri diculik me..re…. ka….” Perwira
Muda sais kereta kencana itu kemudian menghembuskan napas terakhirnya. Tubuhnya
melosoh ke tanah tersender di roda kereta. Indralaya menyebut nama Gusti Allah
beberapa kali.
“Aku harus segera melaporkan hal ini ke Demak, keselamatan
Gusti Puteri terancam, orang-orang Padepokan Garuda Emas kalian akan menerima
hukuman berat dari Sultan Demak” Indralaya berucap geram sambil kepalkan
tinjunya, ia lalu berdiri, menatap sekeliling sebentar lalu tinggalkan tempat
itu.
Tak lama kemudian Andana Harimau Singgalang tiba pula
dilembah itu, ia berseru kaget melihat keadaan memilukan dihadapannya “Onde
Mande !! Nyawa manusia seperti tak berguna !! aku yakin sekali ini pasti
ulahnya Kerajaan Teratai Darah” Harimau Singgalang gelengkan kepalanya berulang
kali “Sebaiknya aku segera menuju Hutan Kaki Gunung Raung, bagaimanapun
keselamatan puteri kesultanan Demak lebih penting, gerombolan ini semakin hari
semakin berbuat keonaran”
***
Bagaimana Putera Api bisa bergabung dan menjadi wakil sang
Junjungan Kerajaan Teratai Darah ? mari kita kembali lima purnama sebelum
adanya keonaran yang disebabkan oleh gerombolan aliran hitam yang menamakan
diri Kerajaan Teratai Darah, disebuah hutan di wilayah Kadipaten
Bojonegoro….
Bojonegoro menjadi wilayah kerajaan Demak, sehingga sejarah
Bojonegoro kuno yang bercorak Hindu dengan fakta yang berupa penemuanpenemuan
banyak benda peninggalan sejarah asal jaman kuno. Slogan yang tertanam dalam
tradisi masyarakat sejak masa Majapahit “sepi ing pamrih, rame ing gawe” tetap
dimiliki sampai sekarang. Bojonegoro sebagai wilayah kadipaten kerajaan Demak
mempunyai loyalitas tinggi terhadap raja dan kerajaan. Kemudian sehubungan
dengan berkembangnya budaya baru yaitu Islam, pengaruh budaya Hindu terdesak
dan terjadilah pergeseran nilai dan tata masyarakat dari nilai lama Hindu ke
nilai baru Islam tanpa disertai gejolak. Raden Patah, Senopati Jumbun, Adipati
Bintoro, diresmikan sebagai raja I, sejak itu Bojonegoro menjadi wilayah
kedaulatan Demak. Kelak Ketika diakhir kejayaan kesultanan Demak dalam
peralihan kekuasaan yang disertai pergolakan membawa Bojonegoro masuk dalam
wilayah kerajaan Pajang dengan raja Raden Jaka Tingkir Adipati Pajang.
Disebuah hutan di Bojonegoro, terdapat sebuah api abadi
Bernama Kayangan Api, Kayangan Api adalah tempat pertapaan seorang Empu dari
zaman Majapahit bernama Empu Supa. Sang Empu dikisahkan melakukan pertapaan dan
membuat pusaka di lokasi Kayangan Api. Pusaka yang dibuat oleh Empu Supa yakni
Keris Jangkung Luk Telu Blong Pok Gonjo yang ditempa dan dibakar dengan api
yang keluar dari dalam tanah tersebut. Oleh pihak kerajaan, Empu Supa diangkat
menjadi Empu Majapahit dan diberi gelar Empu Kriya Kusuma.
Sang Surya belum lama terbenam di ufuk barat, burung-burung
malam dan kelelawar baru saja keluar dari sarangnya guna mencari makan. Suasana
Kayangan api terasa hangat, api alamnya menyala merah namun juga terkadang biru
cukup menerangi gelap yang mengitarinya. Bau belerang menyengat ditempat itu.
Setengah tombak jaraknya didekat Kayangan Api, diantara cahaya api tampak
seorang pemuda sedang dusuk bersila bertelanjang dada dalam keadaan bersemedi,
ia memakai Belangkon Merah di kepalanya menutupi rambutnya yang gondrong
sebahu. Pemuda ini memiliki wajah yang gagah, dengan rahang kukuh , mata tajam
dan beraut muka yang sinis angkuh. Panas api alam membuat kulit pemuda ini
kemerahan semakin membuat otot-otot tubuhnya semakin tercetak.
Menjelang tengah malam suasana di sekitar api abadi itu
semakin sunyi, hanya suara binatang malam yang sesekali terdengar. Suara Burung
Pungguk terdengar di pucuk pohon tinggi sebab bulan purnama meski sedikit
tertutup awan hitam sinarnya cukup menerobos pepohonan. Diantara kelebatan
pepohonan hutan sesosok tubuh berkelebat cepat menuju Api Kayangan. Sosok tubuh
ini kemudian mendarat dengan enteng di hadapan pemuda berbelangkon merah yang
tengah bersemedi. Cahaya api abadi dan sinar rembulan membuat orang ini
terlihat jelas. ia seorang nenek bermuka keriput seram berpakaian hitam penuh
tambalan dan yang membuat nenek ini semakin seram adalah alis dan rambutnya
yang Panjang berwarna merah seperti api. Nenek ini tertawa mengekeh melihat
pemuda berbelangkon merah yang tengah bersemedi
“Bagus sekali muridku Putera Api ! semedimu selama dua
purnama ini telah meningkatkan ilmu dan tenaga dalammu”
Pemuda yang tengah bersemedi
adalah Putera Api, nenek seram yang memanggil sang pemuda dengan panggilan
muridku ternyata adalah guru Putera Api, nenek ini bergelar Malaikat Setengah
Iblis. Sejak puluhan tahun silam ia adalah dedengkot golongan hitam Tanah Jawa.
Nenek ini berilmu sangat tinggi dan banyak menebar maut bagi golongan putih
namun ia juga suka bersekutu dengan golongan putih jika ada keuntungan darinya
karenanya ia dijuluki Malaikat Setengah Iblis
(Baca serial Andana Harimau
Singgalang eps Topan
Prahara di Tanah Jawa)
Putera Api seperti tak acuh akan kehadiran gurunya, ia
memusatkan pikiran dalam semedinya. Malaikat Setengah Iblis Kembali mengekeh
dan berkata. “Bangunlah muridku ! waktu semedimu telah selesai” ia kibaskan
telapak tangannya, angin panas keluar dari tangan sang nenek menyapu ubun-ubun
Putera Api. Sapuan tangan Malaikat Iblis membuat sang murid tersentak. Putera
Api perlahan buka kedua matanya, tatapannya membentur sosok gurunya.
“Guru !! kau sudah disini !”
“Murid tolol ! kerjamu malang melintang di rimba persilatan
kudengar hanya kekalahan saja yang kau dapatkan !” bentak Malaikat Setengah
Iblis.
Putera Api meradang mendengar ucapan gurunya “Guru geblek !
aku hampir saja menguasai Tanah Jawa andai tak ada Harimau Singgalang, Jahannam
itu selalu mencampuri urusanku”
“Mengalahkan Harimau Singgalang saja kau seperti tikus
kepanasan muridku !”
“Pemuda itu
sangat Tangguh guru ! meski ilmuku tak berada dibawahnya !” Putera Api mencoba
membela diri.
Sudah ! kau tak
perlu risaukan pemuda itu, ilmu tenaga inti apimu semakin meningkat sekarang
semenjak kau kuperintahkan bersemedi disini, tubuhmu telah menyerap kekuatan
imti api kayangan bergabung dengan Inti Api pijar Mahameru dalam tubuhmu”
“Tubuhku terasa lebih ringan
dan pandanganku terasa lebih tajam guru ! Andana Harimau Singgalang akan
kulumat kau dengan Api
Ha..Ha..Ha.” Putera Api tertawa senang.
“Ilmumu semakin tinggi, jika masih tak mampu juga menguasai
tanah Jawa baiknya kau jadi tukang kebun Kerajaan saja Putera Api,
Ha..Ha..Ha”
“Dasar tua bangka geblek !!” Putera Api pencongkan mulutnya
mendengar ucapan gurunya.
“Aku semakin
muak melihatmu disini, aku harus pergi,
ini aku bawakan pakaian merah kesukaanmu” acuh tak acuh Malaikat
Setengah Iblis lemparkan seperangkat pakaian berwarna merah ke muka Putera Api
membuat pemuda ini mengomel Panjang pendek.
Selamat tinggal Murid setan ! ingat jangan
mempermalukanku lagi dengan kekalahan
Ha..Ha..Ha” belum selesai tawa
Malaikat Setengah
Iblis, tubuhnya sudah berkelebat hilang di kejauhan.
Putera Api pakai baju merahnya yang terjatuh di pangkuannya
lalu mengenakan pakaian pemberian sang guru. Baru saja ia hendak meninggalkan
tempat itu, satu suara menggema di malam yang sunyi.
“Putera Api !! jika kau ingin menguasai Tanah Jawa
bergabunglah denganku”
Putera Api
menoleh ke arah kiri, disana di jarak lima tombak darinya, di bawah sebatang
pohon Waru besar berdiri seorang berjubah hitam bermotifmotif bunga Teratai
Merah darah, ia memakai caping bambu lebar yang menutupi kepala dan wajahnya.
Putera Api mencoba menerawang wajah orang dibawah pohon Waru tapi kain hitam
yang menutupi capingnya sangat pekat sehingga Putera Api tak bisa memastikan
siapa orang ini. Putera Api hanya mengetahui dari suaranya bahwa orang
bercaping itu seorang lelaki.
Siapa kau
kisanak !! apa maksud ucapanmu tadi” balas membentak Putera Api, suaranya
menggema ditempat itu. Putera Api mengambil sikap waspada, jika ia dan gurunya
tak mengetahui kapan orang bercaping itu ada disana tentu orang itu memiliki
ilmu meringankan tubuh serta ilmu kanuragan yang tinggi.
Orang bercaping maju dua Langkah dan menjawab “Aku tahu
kehebatanmu Putera Api ! bukankah Harimau Singgalang adalah musuh bebuyutanmu, bayangkan jika kita
bergabung tentu kita akan menguasai seantero rimba persilatan Tanah Jawa ini”
Putera Api tersenyum mengejek dan bertanya “Apa yang hendak
kau tawarkan kepadaku ?”
“Aku Sang Junjungan Kerajaan Teratai Darah menawarkanmu
bergabung bersamaku, mengingat nama besarmu aku akan menjadikanmu wakil
Junjungan”
“Kerajaan Teratai Darah ! jika
itu hanya serikat orang tolol aku tidak berminat bergabung” Kata Putera
Api.
Orang bercaping mengekeh lalu berkata dengan suara dingin
“Kau ingin bukti Putera Api ! apakah aku hanya orang tolol, lihat
serangan”
Cepat sekali gerakan Orang Bercaping, tahu-tahu Putera Api
mendapati serangan jotosan lawan sudah menderu dekat sekali ke kepalanya. Dapat
dipastikan terlambat sedikit saja maka kepala Putera Api akan rengkah tapi
Putera Api juga tidak mudah untuk ditaklukkan maka dengan gerakan enteng Putera
Api lentingkan tubuhnya jungkir balik mengindari jotosan lawan. Masih dengan
gerakan melayang di udara, Putera Api balas menendangkan kaki kanannya ke
kepala lawan. Orang bercaping kelitkan kepalanya kesamping mengelak tendangan
Putera Api. Ia sodokkan sikutnya ke arah dada, Putera Api yang melihat sodokan
siku lawan segera papaskan tangannya ke bawah menangkis sodokan lawan “Bukkkkk”
siku Orang Bercaping dan tangan Putera api beradu. Putera Api merasakan
tangannya tanggal sebaliknya Orang bercaping terjajar dua Langkah.
“Keparat bercaping ini memiliki tingkat tenaga dalam tidak
dibawahku !!” desis Putera Api. Segera ia keluarkan jurus Tarian Api
andalannya. Tubuh Putera Api meliuk-liuk seperti api melakukan serangan dan
jotosan ke arah Orang bercaping. Orang bercaping juga keluarkan jurus-jurus
mematikan yang mengimbangi serangan Putera Api. Kedua orang ini bertarung
begitu serunya sampai belasan jurus, hanya bayang-bayang gerakan mereka yang
cepat terlihat oleh kasat mata. Putera Api melompat dua tombak ke udara
kemudian hantamkan Pukulan “Api Biru”
ke arah Orang Bercaping di bawahnya. Lidah Api berwarna biru panas menggebubu,
pukulan Putera Api ini terlihat jauh lebih terang dan panas dari biasanya sebab
ia sudah menyerap inti Kayangan Api yang membuat tenaga dalam dan ilmunya
meningkat tajam. Orang Bercaping tak menyangka mendapatkan serangan ganas itu.
Tak ada jalan lain baginya selain menjatuhkan tubuhnya rata dengan dan balas
menghantam dengan pukulan mengandung hawa panas luar biasa disertai suara
letusan keras.
“Bummmmmmmm” suasana di tempat itu laksana diterpa puting
beliung dengan hawa panas luar biasa menghampar. Orang bercaping terpental
sampai enam Langkah lalu tertekuk lutut ke tanah, napas orang bercaping
terdengar menyesak. Sebaliknya Putera Api jatuh terbanting ke tanah, Tubuhnya
terasa remuk redam. Pandangan matanya berkunang-kunang dengan dada mendenyut
sakit seperti ditusuk ribuan jarum. Murid Malaikat Setengah Iblis ini lalu
bangkit berdiri bergerak ke arah orang bercaping dan berjubah hitam. Orang
bercaping segera bangun dan Menyusun kudakuda serangan. Tapi Putera Api segera
mengulurkan tangannya ke arah orang bercaping dan berkata dengan senyuman
angkuh “Kematian untuk Harimau Singgalang !!” , orang bercaping segera
menyambut uluran tangan Putera Api dan menjawab “Bagus !! Mari kita kuasai
Tanah Jawa !! Ha..Ha..Ha..”
Semenjak berdirinya Kerajaan Teratai Darah suasana rimba
persilatan menjadi kacau sebab banyaknya pembunuhan atas tokoh-tokoh golongan
putih, pemusnahan perguruan-perguruan silat yang tidak mau bergabung dengan
Kerajaan Teratai darah, perampokan terhadap para saudagar serta petugas upeti
kerajaan , penjarahan desa-desa, serta penculikan atas gadis-gadis muda. Salah
satu korban penculikan oleh Teratai Darah yakni Permani, seorang dara yang
diangkat murid oleh Dewa Tuak. Dara ini diculik para anggota Teratai Darah
Ketika sedang mengambil air di tepi Sungai. Dewa Tuak merupakan seorang kakek
tokoh silat golongan putih cabang atas yang sakti mandraguna, kebiasaannya
meminum tuak harum dari bumbung bambu Bernama Tuak Kahyangan membuatnya
dijuluki dan dikenal sebagai Dewa Tuak oleh dunia persilatan (Mengenai Dewa
Tuak bisa dibaca di cersil Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 eps. Maut
Bernyanyi di Pajajaran)
4
Kabut tebal masih menyelimuti
pelataran dataran tinggi Dieng, sinar sang surya seperti enggan menembus
ketebalannya, cahayanya hanya menembus temaram. Dipuncak pohon didahan teratas
disela-sela dedaunan yang berembun butirbutir es kecil, tampak beberapa ekor
burung Kutilang Jawa bercengkrama sembari berkicau sendu merindu hangat sang
mentari. Membuat sedikit riuh suasana pagi yang dingin itu. Jika para pembaca
mengarahkan pandangan ke arah beberapa buah candi dipelataran Dieng yang
dikelilingi kolam luas berair jernih, di muka pintu sebuah candi berukuran
besar, duduk seorang dara berbaju kurung berwarna merah memainkan sebuah
Saluang (Seruling Khas Minangkabau) terbuat dari perak murni, dara itu begitu
Anggun menggunakan tengkuluk (Penutup kepala Wanita
khas Minang berbentuk tanduk kerbau) menambah elok paras
sang dara yang cantik jelita.
Suara saluang sang dara mengalun mendayu-dayu seakan
menembangkan syair-syair kerinduan membuat teduh hati yang mendengarnya. Namun
semua keindahan itu terhenti oleh kelebatan dua sosok tubuh menuju ke arah sang
dara disertai siuran angin yang deras menandakan ketinggian ilmu meringankan
tubuh kedua orang yang datang itu sehingga dalam waktu singkat dua sosok itu
sudah berdiri di depan sang dara. Sang Dara segera hentikan permainan
Saluangnya dan menyimpan saluang perak dibalik baju kurung merahnya. Ia menatap
tajam dua orang berpakaian serba hitam di hadapannya, kedua orang itu
mengenakan pakaian serba hitam dengan corak gambar Bunga Teratai Merah. Salah
seorang dari mereka seorang kakek berwajah pucat dengan luka codet melintang
dibagian pipi, tubuhnya sesekali terlihat menggigil seperti orang kena penyakit
malaria, ditangannya ia menggenggam tongkat hitam berhulu kepala Burung Gagak
hitam. Dalam dunia persilatan kakek ini dikenal dengan julukan “Gagak Hitam
bermuka Mayat”.
Lalu seorang lagi
disebelah Gagak Hitam berdiri seorang
nenek berdandan menor berbola mata belok mengunyah sirih dimulutnya Ketika ia
menyeringai tampak merah air sirih disela-sela giginya yang hitam jarang,
rambut Panjang putih sang nenek terselip hiasan rambut Kupu-kupu berwana merah.
Ditangannya terkembang kipas berwarna warni. Sang Dara dengan tenang berkata
“Gerangan apakah yang membuat Gagak Hitam bermuka Mayat dan Ratu Iblis
Kupu-kupu merah pagi buta sudah berada di pelataran Dieng ? tampaknya kalian
sudah bergabung dengan komplotan golongan hitam yang menamai diri
“Serikat Teratai Darah” ?
Gagak Hitam meleletkan lidahnya dan berseru “Cah ayu !!
bukankah kau Puti Seruni, kekasih Andana Harimau Singgalang, Kami diperintahkan
sang junjungan Teratai darah untuk
menangkap kekasihmu itu” lalu ia
menambahkan “tapi jika kau sudi ikut kami dan menyerahkan diri menjadi budak
sang junjungan tentu sang junjungan akan senang mendapatkan hadiah dara secantikmu”
Puti Seruni mendengus tajam “Sampaikan pada junjunganmu,
kerbau betina mungkin lebih cocok untuk dirinya”
“Jika demikian kau memilih lebur menjadi debu gadis cantik
!!” teriak Ratu Iblis Kupu-kupu merah. “Aku
tak sudi mengikuti keinginan kalian dan junjungan kalian !! silahkan carikan
saja kerbau betina” ejek Puti Seruni, lalu cabut saluang peraknya dan silangkan
di depan dada. Dara cantik ini tahu bahwa dua manusia golongan hitam di
depannya selain bukan tokoh baik-baik juga memiliki ilmu kesaktian yang tinggi,
keduanya sudah malang melintang di seantero pulau Jawa.
Jika kau memilih demikian maka kami akan meringkusmu
hidup-hidup cah ayu !! lihat serangan teriak Gagak Hitam bermuka Mayat, sang
kakek kebutkan tongkat hitamnya ke depan. Serangkum angin berwarna hitam berbau
busuk menyembur dari mata gagak ke arah Puti Seruni. Sang dara segera tutup
jalan pernapasannya, jika sampai terhirup sedikit saja bisa membuat otot-otot
tubuh akan melemas.
Dari samping kiri, Ratu Iblis Kupu – Kupu merah kebutkan
Kipas warna warninya, serangkum angin mengandung hawa dingin menderu.
Menghadapi serangan cepat dan mendadak itu, Puti Seruni terkesiap berteriak
tekuk lututnya sembari babatkan Saluang peraknya dalam jurus “Srikandi memanah
Purnama”, Sinar perak menderu menangkis serangan angin Hitam Gagak Hitam. Sang
dara coba pukulkan pukulan tangan kosong dengan tangan kirinya ke depan guna menangkis kebutan angin kipas Ratu
Iblis. Babatan Saluang Perak Puti Seruni berhasil membuyarkan angin hitam
tongkat Gagak Hitam dan juga berhasil memukul pecah kebutan kipas Ratu Iblis
Kupu-kupu merah namun sepertinya sang Kakek tak memberi kesempatan lebih lama,
ia susupkan Kembali serangan tongkat hitamnya ke arah sang dara yang posisinya
terbuka dibarengi semburan asap hitam
pekat ke arah wajah Puti Seruni.
Dalam keadaan genting Puti Seruni coba babatkan saluang
peraknya ke bawah guna menangkis serangan tongkat akan tetapi Gerakannya lebih
lamban dari serangan tongkat sehingga serangan tongkat dan semburan asap hitam
akan segera melumpuhkan sang gadis. Dalam keadaan pasrah itu, tiba – tiba
diudara terdengar suitan Panjang disertai kelebatan bayangan putih dan teriakan
“Kalian dua tua bangka tak berguna beraninya mengeroyok seorang gadis muda”
lalu terdengar seperti suara ribuan tawon mengamuk disertai kilau Cahaya putih
menyilaukan dan “Crasssss” Tangan Gagak Hitam bermuka mayat kutung sampai siku,
tongkat dan kutungan tangannya mental entah kemana.
Gagak Hitam bermuka mayat
menjerit setinggi langit melihat tangannya telah buntung menghitam tanda ada
racun yang mulai menyebar, ia berusaha menotok jalur aliran darahnya namun
terlambat karena racun sudah menyerang jantungnya. Sang Kakek kelonjotan
seperti ayam dipotong kemudian diam tak berkutik lagi. Ratu Iblis Kupu-Kupu
Merah terkesiap kaget, di depan sana empat tombak dihadapannya berdiri seorang
pemuda gagah berambut gondrong berpakaian serta berikat kepala putih sambil cengengesan dan menggaruk kepalanya,
Pemuda itu menenteng kapak bermata dua berhulu kepala naga di tangan kanannya.
Pantulan sinar Sang Surya di Langit Dieng
meski malu-malu masih bisa membuat Kapak itu berkilauan. Ratu Iblis
Kupu-Kupu Merah berseru kecut dan tercekat “Apa !! Pendekar Kapak Maut
Naga Geni
212”
Puti Seruni yang terduduk di tanah pandangi pemuda berambut
gondrong berpakaian dan berikat kepala putih itu.
Melihat wajah pemuda itu, Sang Dara berseru riang “Uda
Andana !!! Kau menyelamatkanku”
Pendekar Kapak Maut Naga geni 212 berpaling ke arah Puti Seruni,
pemuda ini mengulum senyum dan berkata “Saudari, kau salah aku ini bukan
Andana”
Puti Seruni terheran mendengar ucapan Wiro, “Uda bukan
Andana Harimau Singgalang ?” Dara ini heran sebab wajah Wiro Sableng hampir
serupa dengan Andana Harimau Singgalang.
“Namaku Wiro Sableng saudari ! tapi tidak Sableng betulan
tapi suka sableng-sablengan Ha..Ha..Ha..” Wiro tertawa lepas, ia simpan Kapak
Maut Naga Geni nya ke balik baju putih.
“Kecuali
nenek berdandan menor itu sepertinya sableng betulan karena ikut-ikutan
bergabung dengan Kerajaan Sableng Ha..Ha..Ha..” Pendekar 212 kembali tertawa
dan menggaruk kepalanya.
Panas hati Ratu Iblis Kupu-Kupu mendengar ucapan Murid Sinto
Gendeng, mukanya memerah timbul keberanian dalam hati sang nenek. Dengan
geraham gemeretak nenek ini membentak marah “Pendekar 212 ! jangan kira aku
gentar mendengar nama besarmu, ayo kita bermain-main sejurus dua jurus”
‘Apa nek ! bermain-main ! aku ogah bermain denganmu masih
mending sama saudari cantik ini ya kan ! Hi..Hi..Hi” Wiro berkata sambil
kerlingkan mata ke Puti Seruni. Membuat wajah gadis ini bersemu merah.
“Pemuda
laknat ! mampuslah” Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah kebutkan kipas warna warninya.
Serangkum angin deras melaju ke arah Pendekar 212. Wiro bersiul nyaring lalu
berjumpalitan menghindari serangan sang nenek. Angin kebutan kipas sang nenek
lewat sejengkal dibawah punggung murid Sinto Gendeng. Belum lagi Wiro
menjejakkan kakinya dengan mantap ke tanah, Ratu Iblis KupuKupu Merah Kembali
hantamkan kipas warna – warninya, kali ini dua larik sinar merah dan kuning
mencari sasaran di tubuh Wiro Sableng.
“Mampus kau bocah ! makan
pencarianmu !” teriak
Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah, sang nenek yakin Murid Sinto
Gendeng kali ini tak akan mampu menghindari serangannya, sang nenek lagi-lagi
kecele, sebab Pendekar 212 sudah tidak ada lagi dihadapannya. Dua larik sinar
merah dan kuning hanya menghantam telaga hingga air dan lumpurnya bercipratan
kemana-mana. Mata Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah mencari – cari keberadaan Pendekar
212.
“Aku disini nek ! baru saja saja ditinggal sebentar kau
sudah kangen ! Ha..Ha..Ha” Wiro tertawa mengejek Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah,
sang nenek melengak ke atas, disana Murid Sinto Gendeng bergelayutan di cabang
pohon rindang di dekat Candi.
Merasa dimainkan seorang bocah nenek ini berulang kali
hantamkan serangan pukulan tangan kosong ke arah murid Sinto Gendeng. Wiro
lepaskan kedua tangannya yang bergelayutan di cabang pohon, ia melompat
menghindari serangan pukulan tangan kosong sang nenek, sembari melompat Wiro
mainkan jurus “Rajawali Membubarkan Anak Ayam ” , Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah
sambut serangan Wiro dengan jurus-jurus andalannya. Perkelahian seru terjadi di
pelataran Candi itu. Serangan Dahsyat Ratu Iblis Kupu – Kupu Merah benar-benar
mencari maut di tubuh pendekar 212, Murid Sinto Gendeng tampak seperti
kewalahan menahan serangan si nenek, beberapa kali serangan sang nenek hampir
mengenai sasarannya. Barulah Ketika Wiro kemudian keluarkan jurus Orang Gila
warisan Tua Gila di Pulau Andalas, kali ini terbalik keadaan, Ratu Iblis
KupuKupu Merah terkepung permainan silat Wiro Sableng yang seperti orang
linglung gerabak gerubuk namun berbahaya, sesekali Wiro mempermainkan sang
nenek sambil tertawa haha hihi membuat sang nenek benar-benar mendidih amarahnya.
Puncaknya setelah menghindari tendangan lawan yang mengarah ke kepala, Pendekar
212 dalam jurus “Kepala Naga Menyusup Awan” gelungkan tangannya ke tubuh si
nenek dan Tarik lepas tali pengikat jubah hitam Ratu Iblis KupuKupu Merah. Sang
Nenek terkejut bukan main mengetahui jubahnya tersingkap lebar polos dibagian
bawah. Ia kalang kabut menutupi auratnya yang terbuka.
“Edan !! sial aku melihat Apem bonyok ! Nek kau tak pakai
celana dalam ya, Ha..Ha..Ha..Ha..” Seru Pendekar 212 sembari tutup kedua matanya,
murid Sinto Gendeng tertawa tergelak-gelak.
“Bocah Jahannam !! tunggu pembalasanku !!” dengan penuh rasa
malu Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah kebutkan kipas warna warninya, satu angin deras
menggebu ke arah murid Sinto Gendeng. Wiro balas menghantam dengan pukulan
“Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih”, serangan si nenek buyar namun sang
nenek sudah lenyap dari pelataran Candi itu.
Wiro tersenyum ke arah Puti Seruni yang terperangah melihat
kejadian di depan matanya. Wajah sang dara terlihat merah karena jengah.
“Apa kau tidak apa-apa saudari ?” Tanya Wiro menghampiri
Puti Seruni.
“Terima
kasih uda Wiro sudah menyelamatkanku, aku tidak apa-apa”.
“Saudari siapa ? mengapa berada di Pelataran Candi Dieng ini
? Tanya Pendekar 212. Wiro merasa lucu Ketika dirinya dipanggil uda.
“Namaku Puti Seruni aku berasal dari Ranah Minang Uda !”
Sang Dara memperkenalkan diri.
“Sudah kuduga logatmu
menandakanmu berasal dari sana Puti, Ranah Minang Andalas” kata Wiro. Tanah
Andalas membuat Pendekar 212 teringat gurunya Tua Gila Ketika bersama-sama
membasmi Datuk Sipatoka di Tambun Tulang. (Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 Eps. Banjir Darah di
Tambun Tulang)
“Uda Wiro sendiri hendak kemanakah ?” tanya Puti
Seruni.
Pendekar 212 garuk kepalanya lalu menjawab “Aku mendapatkan
tugas dari Dewa Tuak salah satu sahabat guruku untuk menyelamatkan muridnya
yang diculik gerombolan Teratai Darah beberapa waktu lalu, Namanya
Permani”
“Nenek yang
uda lawan tadi adalah salah satu anggota Kerajaan Teratai Darah” menerangkan
Puti Seruni.
“Iya benar, aku sudah tahu markas Kerajaan Teratai Darah
berada, di Hutan Kaki Gunung Raung” kata Murid Sinto Gendeng.
“Uda Wiro hendak menuju kesana ?”
“Iya Puti, aku hendak menuju kesana mencari Permani, kau
sendiri mau kemana ?” tanya Wiro.
“Aku tidak memiliki tujuan uda, hanya sekedar berpetualang”
Jawab Puti Seruni sekenanya.
“Kau pasti mencari Andana Harimau Singgalang, Ha..Ha..Ha”
Goda Wiro. Wajah Puti Seruni yang memerah menandakan tebakan Murid Sinto
Gendeng benar adanya.
“Jika kau mau ikutlah denganku siapa tahu kita bertemu
Andana” bujuk Pendekar 212. Melihat Puti Seruni berdiam diri. Wiro Kembali
menggoda “di Jawa ini banyak gadis -gadis cantik, aku takutnya Harimaumu itu
sudah menggondol beberapa dari mereka”
“Udaaaaaaaa Wiro !! teriak Puti Seruni mencubit murid Sinto
Gendeng. Wiro tertawa terbahak-bahak lalu berlari meninggalkan tempat itu, Puti
Seruni mengejar sang pendekar meninggalkan mayat Gagak Hitam Muka Mayat yang
terbujur kaku menghitam akibat racun Kapak Maut Naga Geni 212 di pelataran
Candi Dieng.
(Mengenai Permani bisa dibaca pada Cersil Wiro Sableng
mahakarya Bastian Tito berjudul : Rahasia Lukisan Telanjang)
5
Kesultanan Demak atau Kerajaan
Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa yang berdiri di Demak. Demak sebelumnya merupakan
kadipaten Majapahit yang telah melemah saat itu untuk beberapa tahun sebelum
melepaskan diri.
Berdasarkan cerita tradisional Jawa, kerajaan ini didirikan
oleh Raden Patah, yang merupakan keluarga dinasti Majapahit. Kesultanan Demak
Terletak di pesisir utara Jawa, kerajaan yang didirikan oleh Raden Fatah atau
yang lebih dikenal dengan Raden Patah ini menjadi sebuah kesultanan yang cukup
disegani. Demak memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Jawa. Demak berada pada puncak kejayaannya di bawah
pemerintahan Sultan Trenggono. Pada masanya, ia melakukan penaklukkan ke
pelabuhan-pelabuhan utama di Pulau Jawa hingga ke pedalaman. Salah satu
pelabuhan yang ditaklukkan Demak adalah Sunda Kelapa, yang pada waktu itu
berada dalam kekuasaan Kerajaan Sunda. Kelak Sunda Kelapa berganti nama menjadi
Jayakarta (Jakarta sekarang). Kesultanan Demak memiliki angkatan perang yang
militan. Kadipaten-kadipaten di wilayah Jawa berhasil dikuasai.
Kehidupan ekonomi Kerajaan Demak sebagian besar didasarkan
pada perdagangan dan pertanian. Demak adalah pelabuhan perdagangan yang
penting, dan memiliki pasar yang ramai di mana para pedagang dari seluruh
wilayah datang untuk membeli dan menjual barang. Ekspor utama Kerajaan Demak
adalah beras, rempah-rempah, tekstil, dan kayu. Produk-produk ini
diperdagangkan ke kerajaan-kerajaan lain, misalnya Cina, India, dan Timur
Tengah. Pertanian juga merupakan bagian penting dari ekonomi Kerajaan Demak.
Tanah yang subur dan iklim tropis Jawa membuatnya ideal untuk menanam padi, dan
kerajaan ini dikenal dengan produksi berasnya yang berkualitas tinggi. Secara
keseluruhan, Kerajaan Demak adalah negara yang makmur dan dinamis, dengan
ekonomi yang berkembang pesat yang didasarkan pada perdagangan dan pertanian.
Sultan Terenggono baru saja selesai memimpin pertemuan
kerajaan ketika salah seorang pengawal pintu istana memberi pesan bahwa Perwira
Demak untuk wilayah Kadipaten ingin datang menghadap.
"Bawa dia datang menghadapku" Titah Sultan
Trenggono
Indralaya bersama pengawal istana kemudian masuk ke ruang
pertemuan kerajaan, dengan mlaku ndhodhok (berjalan jongkok) Indralaya
menghadap sultan, ia rangkapkan telapak tangan di depan kepalanya dan berkata
"Daulat gusti prabu!! Ampun tuanku!! Hamba meminta izin menyampaikan hal
penting sekali gusti!"
"Katakan apa yang ingin engkau sampaikan perwira"
"Nama hamba Indralaya
gusti prabu, hamba perwira yang bertugas di Kadipaten dalam pengawalan
perjalanan gusti Puteri Ratu Ayu Wulan, ampun beribu ampun rombongan gusti
Puteri diserang oleh sekelompok murid-murid Padepokan Garuda
Emas"
"Apa!!!
Bagaimana hal ini bisa terjadi" Bentak Sultan Trenggono marah, ia bangkit
dari kursinya.
Dengan gemetar Indralaya menceritakan semua yang terjadi.
Sultan Trenggono sangat murka rasanya ia hendak menghajar Indralaya saat itu
juga namun penasihat Kesultanan berusaha menenangkan sang Prabu. "Ampun gusti prabu! Sebaiknya
gusti bertenang diri dulu, kita pikirkan cara bagaimana menyelamatkan gusti
Puteri Ratu Ayu Wulan"
Wajah Sultan Trenggono memerah menahan amarah, ia kembali
duduk di kursinya. Dengan suara bergetar ia memberikan perintah "Panggil Senopati Panduwinata sekarang!! Perintahkan segera
menghadap"
Beberapa pejabat istana yang masih berada di ruang pertemuan
segera memberikan perintah kepada prajurit penjaga agar memanggil Senopati
pasukan kerajaan, tak lama berselang Senopati Kesultanan Demak dengan
tergopoh-gopoh datang menghadap,
lelaki gagah berusia sekitar empat puluh lima tahun. Ia bersimpuh dengan takzim
di depan Sultan. Sedikit gemetar sang Senopati berkata "Ampun gusti prabu!
Hamba
Senopati Raden Panduwinata datang menghadap"
"Bagaimana tugasmu bisa kebobolan Senopati!! Puteri Ayu Wulan sekarang
diculik murid - murid padepokan Garuda Emas" Kata Sultan Demak kesal.
Terkejut Senopati Raden Panduwinata mendengar kata-kata
Sultan Demak, ia tergagau sesaat "Ampun beribu ampun gusti prabu, hamba
sudah memberikan perintah kepada pasukan penjaga Kadipaten agar menjaga
sepanjang perjalanan gusti puteri, hamba memohon ampun atas kelalaian ini dan
siap menerima hukuman"
"Sudah!! Begini saja cepat kau pimpin pasukanmu ke
padepokan Garuda Emas, saya minta Puteri Ayu Wulan selamat tanpa kurang suatu
apapun"
"Jika padepokan Garuda Emas melakukan perlawanan
terpaksa engkau harus melakukan penindakan terhadap mereka, Perwira Bernama
Indralaya ini akan menjadi penunjuk jalan pasukan menuju ke sana" titah
Sultan Trenggono.
Daulat gusti Prabu! Hamba segera laksanakan! Hamba mohon
diri" Raden Panduwinata dan Indralaya memberikan penghormatan, kemudian
keduanya meninggalkan ruang pertemuan Kesultanan Demak. Sultan Trenggono
menarik napas, hatinya risau memikirkan Puteri Ratu Ayu Wulan. Tak tenang ia
bolak balik duduk berdiri dan berjalan dengan hati yang tidak tenang. Suasana
di pertemuan itu hening, para pejabat kesultanan banyak berdiam diri namun
sejurus kemudian terdengar Salah seorang penasihat kerajaan kemudian berkata
"Ampun gusti Prabu! Setahu hamba Padepokan Garuda Emas beraliran putih!
Bagaimana mungkin mereka melakukan hal semacam ini kepada kesultanan, selama
ini padepokan Garuda Emas suka membantu Demak dalam menghadapi para perusuh
yang menamakan diri kerajaan Teratai Darah"
Penasihat ini seorang kakek berumur sekitar hampir tujuh
puluh tahun, rambut putihnya tergelung oleh sorban berwarna putih, ia
berpakaian seorang pemuka agama Islam.
Menurut
hematku apa yang kiai Gede ing suro sampaikan memang benar adanya, namun
perwira Demak itu saya rasa tidak mungkin berani memberikan laporan yang
mengada-ada" Jawab Sultan Trenggono.
"Ampun gusti Prabu! Jika gusti Prabu berkenan izinkan
hamba beserta beberapa tokoh silat istana ikut ke padepokan Garuda Emas,
mengingat Begawan Rakajaya permana sang mahaguru padepokan adalah kawan hamba
semasa muda mudah-mudahan ia mau mendengarkan agar tidak terjadi salah paham
antara Demak dan Padepokan" Menyarankan Kiai Gede ing Suro. Sultan Demak
tampak merenung berpikir sejenak mendengar saran dari penasihatnya itu.
"Baiklah Kiai, jikalau itu merupakan yang terbaik
menurut Kiai baik, ajaklah beberapa tokoh istana ke sana bersama pasukan Demak,
entah bagaimana hal ini bisa terjadi saya tidak mengerti mengingat hubungan
baik kita dengan padepokan Garuda Emas" Kata Sultan Demak.
"Daulat gusti! Demikian lah sifat kebanyakan manusia,
pagi ia beriman sore menjadi sesat, sore beriman pagi besoknya menjadi sesat,
sebab nafsu duniawi terkadang merubah sifat seseorang, demikian agar kita
senantiasa meminta kepadanya hati yang teguh dijalan kebenaran, sebab hanya
dialah yg maha Kuasa membolak-balikkan hati para hambanya, hamba mohon diri
gusti! Kiai Gede Ing Suro memberikan hormat dan salam kepada Sultan Demak
kemudian ia pun tinggalkan ruang pertemuan itu guna bersiap menuju padepokan
Garuda Emas.
***
Hujan mengguyur cukup deras ketika Bimasena mencapai lereng
gunung Argopuro, ia menunggangi kudanya perlahan sebab bagian lereng gunung
yang terjal dan berlumut licin ditambah semak belukar yang lebat membuat ia tak
bisa menunggangi kudanya dengan cepat. Pemuda murid kesayangan Begawan Rakajaya
ini kemudian turun dari kuda nya sebab tak mungkin ia meneruskan perjalanan dengan
berkuda menuju puncak Argopuro. Ia tambatkan kudanya pada sebatang pohon.
"Geni! Kau tunggu disini ya sampai aku kembali, makanlah rumput
sepuasmu" Bimasena berucap lalu mengelus punggung kudanya. Kuda cokelat
kemerahan kesayangan nya.. Pemuda ini usap wajahnya yang basah oleh air hujan,
pakaian merah nya sudah basah kuyup. Dengan hati-hati dan dibarengi ilmu
meringankan tubuh pemuda ini meniti jalan ke puncak gunung yang dipenuhi
bebatuan licin berlumut.
Hujan sudah mereda ketika
Bimasena mencapai puncak gunung Argopuro, di langit bagian timur tampak pelangi
tujuh warna cantik menghiasi, Bimasena mempercepat larinya menuju bagian barat
puncak dimana terdapat pedataran yang cukup luas, disini juga terdapat
petilasan Puteri Rengganis, puteri Majapahit. Dari jarak beberapa tombak
Bimasena hentikan langkah nya, kakinya seperti dipaku ke bumi, didepan sana ia
melihat sesosok tubuh menghitam tergelimpang dekat reruntuhan pondok. Jantung
Bimasena berdebar kencang, ia segera mendekati sosok tubuh menghitam itu.
Dengan berdebar dan tangan gemetar sang pemuda membalikkan tubuh gosong itu ,
meskipun dalam keadaan gosong namun pemuda ini masih bisa mengenali siapa
adanya sosok tubuh gosong itu. Pemuda ini memekik keras "Mahaguruuuuuu..
Ya Tuhan apa yang terjadi, guruuuuuu. " Bimasena memeluk tubuh gurunya
yang sudah menjadi orang tuanya sndiri. Air matanya tumpah menangisi kematian
begawan
Rakajaya.
"Guru!!! Siapa yang tega melakukan ini kepadamu!! Aku
bersumpah akan melakukan pembalasan" Ia seka air matanya yang meleleh.
Bimasena memandang berkeliling tempat itu. Tampak pepohonan
menghitam hangus dan sisasisa perkelahian sengit, pemuda ini yakin bahwa yang
membunuh gurunya bukan orang sembarangan sebab ia tahu gurunya bukan tokoh
persilatan yang mudah dikacangi
Pandangan pemuda ini membentur sebuah tulisan di sebuah
lempeng batu gunung dekat jenazah gurunya tadinya terbaring, tulisan itu
ditulis menggunakan darah dan ditulis menggunakan tenaga dalam sebab meski
hujan deras namun tulisan diatas lempeng batu itu tidak luntur hanya sedikit
pudar, tulisan di atas batu itu hanya berupa angka, tiga deret angka yakni
"212".
"Dua Satu Dua" Desis murid begawan Rakajaya ini.
"Aku tak tahu apa maksud angka ini, aku harus menyelidik dan mendapatkan
petunjuk" Membatin Bimasena, ia kembali seka air matanya lalu membopong
jenazah gurunya. Ia mencari pohon besar rindang yang ada di puncak gunung itu,
dengan perlahan Bimasena baringkan jenazah sang guru di tanah lalu ia mulai
menggali tanah guna membuat sebuah kubur untuk gurunya, tanah yang terguyur
hujan membuat tanah sedikit lembek dan mudah untuk dikeduk. Sepeminuman teh
lamanya Bimasena akhirnya berhasil membuat sebuah lubang cukup besar dan dalam.
Dengan berlinang air mata pemuda ini turunkan jenazah gurunya secara perlahan
ke dasar liang lahat. Terakhir Ia pandangi sesaat tubuh Begawan Rakajaya
Permana dengan hati sedih bercampur aduk dengan amarah lalu mulai menimbun
liang lahat sang guru. Bimasena menarik
napas berat, keinginannya untuk menyambangi sang guru ternyata berbuah pahit
harus menerima kenyataan bahwa sang guru sudah tiada karena dibunuh. Penuh
amarah dan kesedihan pemuda ini tinggalkan puncak gunung Argopuro.
***
Hujan baru saja reda Ketika pasukan kesultanan Demak
memasuki halaman Padepokan Garuda Emas, di depan sekali menunggangi kuda
Senopati Demak Raden Panduwinata diikuti Indralaya dan Kiai Gede Ing Suro serta
salah seorang tokoh silat istana Bernama Manik Jingga. Panglima Demak membawa
sekitar lima puluh prajurit terpilih bersenjata lengkap dan dua puluh pasukan
pemanah. Para murid Padepokan Garuda Emas terkejut bukan main melihat banyak
sekali prajurit Kerajaan memenuhi halaman. Panduwinata majukan kudanya tiga
Langkah lalu berteriak lantang
“Mana pimpinan Padepokan Garuda Emas ! cepat keluar !”.
wajahnya kelam membesi. Puluhan murid padepokan segera mengambil sikap waspada
melindungi pintu utama padepokan.
“Ada apa tuanku senopati mencari pimpinan kami, guru kami
Bimasena sedang tidak ada di padepokan, beliau sedang berkunjung ke tempat
mahaguru” salah seorang murid padepokan maju ke hadapan Panduwinata dan
menjawab. Ia seorang pemuda berambut ikal berusia sekitar dua puluh tahun.
“Jangan dusta !! cepat panggil keluar atau kami akan
memaksanya keluar !” kata Senopati Demak pula. Kali ini ia berkata dengan lebih
keras. “Namaku Wananta, aku ditugaskan
menjadi penanggungjawab padepokan Ketika guru sedang tidak ada, katakan saja
keperluanmu Senopati” jawab pemuda berambut ikal.
“Tanpa angin tanpa badai kalian tiba-tiba menculik puteri
Ratu Ayu Wulan, mencari lantai terjungkat dengan Kerajaan, atas nama kesultanan
Demak saya perintahkan kalian kembalikan puteri Ratu Ayu Wulan atau kami
ratakan padepokan ini”
“Fitnah macam apa yang kau lontarkan kepada kami Senopati !
bagaimana mungkin kami melakukan hal buruk seperti itu terhadap puteri
Kerajaan” seru Wananta membela diri.
Mendengar ribut-ribut diluar Gantari keluar dari dalam
bangunan Padepokan, adik kandung Bimasena ini kemudian mencoba menengahi
keadaan.
“Tuan
Senopati ! sebaiknya tuan turun dari kuda mari kita bicarakan ini dengan
baik-baik” kata Gantari.
“Kau siapa nona ! tidak ada yang perlu dibicarakan,
kembalikan saja Puteri Ratu Ayu Wulan yang kalian culik”
“maafkan saya menyela senopati ! nona ! izinkan kami
menerangkan kejadian penculikan Gusti Puteri Ratu Ayi Wulan terlebih dahulu”
Kiai Gede ing Suro menengahi.
“Indralaya coba kau ceritakan kepada mereka kejadiannya !”
kata Kiai Gede ing Suro. Indralaya majukan kudanya ke depan lalu menceritakan kepada
Gantari dan para murid padepokan tentang kejadian penculikan beberapa waktu
lalu.
“Fitnah busuk ! semua itu fitnah, bagaimana mungkin kami
melakukan hal buruk seperti itu” kata Wananta dengan suara keras.
Senopati Panduwinata yang dari awal memang kurang bisa
mengendalikan emosinya segera memberikan perintah “Prajurit !! kalian periksa
padepokan ini temukan gusti puteri “
Wananta maju menantang “Apa hak kalian memeriksa Padepokan,
kami sudah katakan yang sebenarnya kami tidak menculik gusti puteri Ratu Ayu
Wulan”
“Jangan menghalangi kami Wananta ! lekas menyingkir !”
“Tindakan kalian sewenang-wenang senopati, kawan-kawan
jangan beri jalan”
“Bedebah !! prajurit periksa
paksa padepokan ini !! perintah Senopati Raden Panduwinata. Mendengar perintah
Senopati Raden Panduwinata para prajurit
Demak bertebar hendak melakukan penggeledahan. Hal ini
membuat Wananta dan para murid padepokan lainnya marah. Tanpa diperintah
semuanya menyerang para prajurit Demak. Suasana
panas mulai berlangsung, puluhan murid padepokan menyerang dengan ganas dengan
golok dan pedang masing-masing, dibalas pula oleh para prajurit Demak dengan
serangan pedang dan tombak. Suara beradunya senjata tajam terdengar riuh di
halaman Padepokan Garuda Emas.
Raden Panduwinata segera pula hunus pedang panjangnya.
Dengan ilmu meringankan tubuh sang Senopati bersalto dari kudanya sambil
babatkan pedang panjangnya. Dua murid Padepokan Garuda Emas ambruk bersimbah
darah dengan dada robek tersabet pedang Raden Panduwinata. Senopati Demak ini
kemudian maju menghadapi Wananta yang sedang menebaskan golok besarnya ke arah
tiga prajurit Demak. Perkelahian seru antara Raden Panduwinata dan Wananta
mulai tersaji. Keduanya sama-sama memiliki ilmu kanuragan yang cukup tinggi.
Korban mulai berjatuhan dari kedua belah pihak, tentu Murid-murid padepokan
sudah terlatih ilmu silat dan kanuragan bisa mengimbangi pasukan Demak yang
juga terlatih di medan pertempuran. Kiai Gede ing Suro hanya berdiam diri
diatas kudanya, sang kiai hanya bisa beristighfar melihat keadaan. Sementara
Indralaya dan Manik Jingga juga sudah terjun ke kalangan pertempuran. Para
Murid Padepokan bertahan mati-matian di halaman dan tangga padepokan. Gantari
pun tidak diam saja, ia ikut bertempur melawan pasukan Demak yang terus
merangsek maju.
Para murid Padepokan mencoba menahan laju Para prajurit Demak. Para prajurit pemanah
hujani para murid padepokan dengan panah. Pada jurus ke delapan belas, Senopati
Demak mendapati keadaan pertahanan Wananta yang terbuka di bagian perut,
secepat kilat Pedang di tangan Senopati Raden Panduwinata menusuk ke depan.
Wananta coba babatkan goloknya tapi kalah cepat, akibatnya pedang senopati
Demak menembus ulu hatinya. Wananta menjerit tertahan. Darah menyembur dari
perutnya yang tembus, Wananta ambruk dengan posisi tertelungkup. Melihat
Wananta tewas, para murid Padepokan menjadi kalap, mereka menyerang para
prajurit dengan kalap. Namun kalah pengalaman tempur, Gantari menyerukan para
murid padepokan agar mundur ke dalam Bangunan Padepokan yang biasa digunakan
untuk pertemuan, beberapa murid segera tutup pintu utama bangunan padepokan
itu. Melihat ini, Raden Panduwinata memerintahkan pasukan panah agar menghujani
bangunan padepokan itu dengan panah.
“Kalian ! bakar bangunan ini dengan Panah api !
Para prajurit pemanah segera menarik busur mereka, puluhan
anak panah yang dikobari api segera menghujani bangunan padepokan itu, dalam
tempo singkat atap bangunan mulai terbakar. Prajurit Demak lainnya berusaha melakukan
pendobrakan terhadap pintu utama. Karena kuatnya dobrakan dari para prajurit
Demak pintu utama bangunan aula Padepokan itu berhasil di bobol. Para prajurit
segera masuk yang langsung disambut oleh para murid padepokan. Perkelahian
sengit Kembali terjadi didalam ruangan aula.
Sementara itu, dari arah lereng Gunung Argopuro, Bimasena
terkejut melihat api besar berkobar dari arah Padepokan, pemuda ini segera
memacu kudanya dengan cepat. Begitu sampai di pintu gerbang padepokan pemuda
ini segera turun dari kudanya dan seperti melayang berkelebat kearah
pertempuran, ia cabut pedang yang tersampir di punggungnya.
“Para prajurit Demak !! apa yang kalian lakukan terhadap
padepokan kami !” pemuda ini kalap melihat banyak muridnya tewas berkaparan.
Murid Begawan Rakajaya segera gunakan pedangnya. Beberapa prajurit Demak tewas
terbabat dalam ruang aula padepokan yang mulai panas karena dikobari api.
Melihat Pemuda ini, Raden Panduwinata segera melompat ia palangkan pedangnya
menahan pedang Bimasena yang hendak Kembali mencari korban para prajurit Demak
“Trangggggg” bunga api memercik. Raden Panduwinata dan Bimasena sama-sama
merasakan tangan keduanya bergetar.
“Senopati Keparat ! apa yang kau lakukan terhadap
padepokanku ! aku Bimasena tak akan memaafkan kalian” seru Bimasena murka.
“Bimasena, lekas serahkan Puteri Ratu Ayu Wulan yang kalian
culik atau padepokan ini rata dengan tanah” ancam Raden Panduwinata.
“Fitnah apa yang kau tuduhkan Senopati ! apaapaan ini”
“Kalau begitu kau memilih rata dengan tanah ! lihat pedang
!”
Raden Panduwinata Kembali membuka serangan dengan pedangnya.
Bimasena tidak tinggal diam, ia mainkan jurus-jurus pedang warisan gurunya.
Perkelahian seru Kembali terjadi di aula padepokan yang semakin hangus terbakar
itu. Api sudah mulai membakar bagian dalam padepokan. Disela-sela perkelahian
Bimasena memerintahkan Gantari dan para muridnya agar segera meninggalkan aula
itu karena si jago merah tak kenal ampun terus membakar bagian-bagian dari
bangunan aula padepokan Garuda Emas. Para Prajurit Demak juga berserabutan
meninggalkan bangunan Aula itu. Di halaman Kembali terjadi pertempuran antara
kedua pihak yang bertikai itu. Perkelahian seru antara Raden Panduwinata dan
Bimasena sudah berjalan seru selama belasan jurus. Kemampuan silat dan ilmu
tenaga dalam kedua orang ini tampak berimbang, sesekali terjadi baku hantam
pukulan diantara keduanya yang membuat ruangan aula semakin parah keadaannya.
Pada jurus selanjutnya Bimasena berkelebat tinggalkan ruangan aula yang sudah
nyaris roboh oleh kobaran api, disusul Raden Panduwinata ke halaman padepokan
yang luas. Keduanya Kembali melanjutkan perkelahian dengan serangan-serangan
mematikan.
Keadaan berubah ketika Indralaya dan Manik Jingga turun
membantu Raden Panduwinata, tiga orang melawan Bimasena, bagaimanapun tinggi
ilmu pemuda ini jika dikeroyok seperti itu cukup membuat dirinya kelabakan.
Beberapa kali sabetan pedang Raden Panduwinata hampir mengenai dirinya. Manik
Jingga yang menyerang dari samping kiri juga hampir menebas putus lehernya,
untung tebasan pedang lawan hanya memutus beberapa bagian rambutnya. Bimasena
semakin kalap, ia lipat gandakan tenaga dalamnya dan melepaskan pukulan tangan
kosong ke arah senopati Demak. Raden Panduwinata jatuhkan dirinya ke tanah
menghindari serangan pukulan murid Begawan Rakajaya. Pukulan tangan kosong
Bimasena lewat diatas punggungnya dan terus menghantam sebuah arca batu di
halaman padepokan hingga hancur berkeping-keping.
Indralaya dan Manik Jingga
Kembali memburu dengan pedang mereka, Bimasena memungut salah satu pedang
prajurit Demak yang berserakan ditanah dengan dua pedang ditangan ia menyambut
serangan lawan. sabetan Pedang Indralaya mengarah dada sedangkan tusukan pedang
Manik Jingga mengarah leher Bimasena. Dari arah samping kanan, Raden Panduwinata
babatkan pedangnya ke arah pinggang murid Begawan Rakajaya. Tiga serangan
pedang mencari sasaran di tubuh Bimasena. Dalam jurus Angin menghembus Halimun,
pemuda ini berhasil menahan sabetan pedang yang mengarah dada serta menangkis
tebasan pedang Raden
Panduwinata yang mengincar pinggangnya. Namun Tusukan Pedang
Manik Jingga terus memburu ke arah leher. Bimasena coba kelitkan kepalanya ke
samping akan tetapi tusukan pedang Manik Jingga lebih cepat datang ke arah
leher. Melihat keadaan bahaya ini Gantari segera melompat mencoba menyelamatkan
kakaknya. Gantari memang berhasil menghalau tusukan pedang Manik Jingga tapi ia
harus membayar mahal sebab dari samping secara tak sengaja serangan susulan
tusukan Pedang Indralaya menembus perut Gantari. Gadis ini pegangi perutnya
yang tertusuk. Tubuhnya limbung, pedang terlepas dari tangannya. Gadis itu
terjerembab ke tanah halaman padepokan.
“Gantari adikku !! Jahannam kau
apakan adikku !!” Bimasena menjerit keras. Dengan tenaga dalam penuh ia
tetakkan pedangnya, Indralaya yang terkesiap akibat tak sengaja menusuk Gantari
dengan pedangnya tak menyadari nyawanya terancam, ia hanya melihat kiblatan
pedang Bimasena lalu tanpa terduga pedang Bimasena membelah kepala Indralaya,
darah dan isi kepalanya terburai mengerikan. Tubuh perwira ini terbanting
ketanah dengan kepala belah mengerikan. Bimasena dengan kalap Kembali menyerang
Manik Jingga dan Raden Panduwinata. Keadaan emosi membuat pemuda ini tak mampu
mengendalikan dirinya, ia keluarkan seluruh kemampuan silatnya dan puncaknya ia
Kembali berhasil menumbangkan Manik Jingga dengan pedangnya. Tokoh Silat istana
Demak ini tewas dengan leher terkutung. Raden
Panduwinata yang marah melihat kematian Manik Jingga
tendangkan kaki ke dada Bimasena, tendangan sang senopati telak menghantam dada
pemuda itu. Murid Begawan Rakajaya terpental ke belakang, pungungnya terbanting
ke tangga padepokan, ia muntahkan darah segar dari mulutnya. Raden Panduwinata
tak lagi memberi kesempatan ia hantamkan pukulan “Merajam wesi melebur Baja”,
“Wussssss” sinar panas berwarna putih menderu ke arah Bimasena yang tak
berdaya. Bimasena coba balas menghantam tapi luka dalam parah yang dideritanya
tak bisa membuatnya berbuat apapun.
Pemuda murid Begawan Rakajaya ini tutup matanya menanti kematian
tiba. Udara tiba-tiba menjadi redup, sinar hitam dari mana datangnya tiba-tiba
menggebubu menghantam pukulan Merajam Wesi Melebur Baja yang hendak melumat
Bimasena. “Bummmmm ! Bummmm !” letusan keras terjadi di halaman padepokan,
tanah dan kaki-kaki orang ditempat itu terasa bergetar hebat. Raden Panduwinata
mencelat mental, punggungnya terbanting ke batang pohon yang tumbuh di halaman
padepokan. Senopati Demak ini muntah darah dan Tangannya menghitam sebatas
siku, ia mengerang Panjang pendek. Disana di tangga bangunan Padepokan sudah
berdiri dengan tegap orang bercaping dan berjubah hitam dengan motif bunga
Teratai kecil berwarna merah darah. Dari arah gerbang padepokan bermunculan
puluhan orangorang berpakaian serba hitam yang juga bermotif bunga Teratai
Merah darah memenuhi bagian pakaian hitam mereka. Orang-orang ini kemudian
masuk dan mulai menyerang dan membantai pasukan Demak yang bertarung melawan
para murid padepokan Garuda Emas. Satu persatu prajurit Demak tumbang dan mati.
Melihat keadaan parah dan tak menguntungkan ini, cepat Kiai
Gede Ing Suro sambar tubuh Senopati Raden Panduwinata, memanggul tubuh sang
senopati di bahu kanannya. Penasihat Kesultanan Demak ini berkelebat cepat
meniti atap bangunan disamping kanan halaman lalu melompati tembok pembatas
padepokan. Beberapa anggota Kerajaan Teratai Darah hendak memburu mengejar
namun orang bercaping memberikan isyarat agar tidak melakukan pengejaran. Orang bercaping
ini kemudian melangkah dan berhenti di
hadapan Bimasena yang terbaring tak berdaya tersandar di tangga bangunan.
Pemuda ini pegangi dadanya yang berdenyut sakit. Terbata ia bertanya “Kaa..lian
siapa ?” mata pemuda ini berusaha menembus kain hitam caping penutup wajah
orang yang berdiri dihadapannya tapi tak bisa.
‘Kami adalah pasukan Kerajaan Teratai Darah, lihat apa yang
Demak sudah lakukan kepada kalian, apa kau tak ingin membalaskan dendam
terhadap mereka” kata orang bercaping.
“Demak sudah melakukan Tindakan keji kepada
Padepokanmu”
Bimasena
pandangi sesaat orang yang dianggapnya sudah menyelamatkannya dari
kematian. Lalu pemuda ini berkata “Demak akan mendapatkan
balasannya !”
“Apa yang kau bisa lakukan dengan keadaan seperti ini ! jika
kau ingin melihat Demak hancur maka bergabunglah dengan kami”
“Apa maksudmu orang bercaping ?”
“Bimasena ! jika murid-muridmu bergabung Bersama kami tentu
kalian akan memiliki kekuatan untuk membalas dendam, seperti kalian kami pun
bermusuhan dengan Demak” menjelaskan orang bercaping. Bumbu-bumbu rayuan jahat
mulai ditebarkan oleh Junjungan Kerajaan sesat ini.
“Gantari.., Mahaguru..” Bimasena berteriak parau, ia
menangis sesugukan di tangga padepokan mengenang kematian dua orang yang
dicintainya itu. Bimasena melihat adiknya terkapar di tanah diseberang
sana.
“Apa jawabanmu Bimasena ?” tanya orang bercaping
memburu.
Bimasena merenung sejenak sambil menggigit bibirnya,
perasaannya hancur berkeping – keping, rasanya tak berguna ia berbuat banyak
kebaikan selama ini namun berakhir kepahitan.
“Baiklah aku dan para muridku menyatakan bergabung dengan
Kerajaan Teratai Darah”
Orang bercaping tertawa lepas,
betapa buruknya fitnah dan tipu daya yang sudah dibuat gerombolan ini terhadap
Padepokan Garuda Emas. Bimasena tanpa sadar sudah terbujuk rayuan iblis yang
membawa dirinya semakin dalam menuju kehancuran. Namun tak bisa juga disalahkan
terkadang rasa sakit yang berlebihan dapat merubah sifat baik seseorang.
Kebaikan yang tersakiti membuat seseorang menjadi jahat. Hanya kebaikan tanpa
pamrih yang akan abadi ! kebaikan dari jiwa yang sudah tercerahi bahwa
sejatinya Ketika diri sudah terbenam ke dalam lautan sang maha pengasih maka
segala sesuatu itu hanyalah ilusi sebab cinta dari sang pencipta adalah balasan
terindah dari sekedar bujukan surga apalagi dunia. Namun hanya sedikit dari
mereka yang mendapat pencerahan, sebab nafsu kejahatan dan kebenaran akan terus
bertarung dalam segenap sanubari insan
!!
Sultan Trenggono tak dapat lagi
menyembunyikan kemarahannya Ketika Kiai Gede Ing Suro menceritakan kejadian di
Padepokan Garuda Emas.
Kehadiran gerombolan Teratai
Darah menyelamatkan Bimasena membuat Demak semakin terhasut fitnah meyakini
akan adanya hubungan antara orang-orang Teratai Darah dengan Padepokan Garuda
Emas. Sri Sultan mengirimkan seribu lima ratus prajurit dan perwira Demak
menuju Hutan Kaki Gunung Raung guna menumpas gerombolan Teratai Darah dan
menyelamatkan Puteri Ratu Ayu Wulan.
6
Hutan di Kaki Gunung Raung sangatlah lebat dengan pepohonan
yang besar-besar. Hutan hujan tropis yang selalu lembab dan berkabut membuat
Kawasan hutan ini sukar dan jarang dijajaki manusia. Apalagi sebelum Kerajaan
Teratai Darah menguasai tempat ini, Kawasan hutan ini dikuasai para perampok
pimpinan Warok Bayanaka yang biasa melakukan aksi di wilayah Kerajaan
Blambangan dan kadipaten-kadipaten disekitar gunung Raung. Ketika gerombolan
Teratai Darah masuk ke tempat ini, mereka menaklukkan Warok Bayanaka dan
membawa Warok Bayanaka beserta para anak buahnya bergabung dibawah kekuasaan
Teratai Darah.
Yang
dinamakan Kerajaan Teratai Darah ternyata adalah sebuah perkampungan luas di
dalam hutan rimba kaki Gunung Raung. Rumah – rumah disini terbuat dari papan
kayu hutan bertiang kayu gelondongan setinggi dua tombak beratap daun rumbia.
Perkampungan Kerajaan Teratai Darah ini berada dekat sebuah air terjun berhawa
dingin.
Kerajaan Teratai Darah dikelilingi pagar kayu tinggi yang
ujungnya runcing dengan gerbang utama berbentuk gapura terbuat dari bata merah
bersusun. Pintu gerbang besar terbuat kayu jati berukir motif ukiran Jepara. Di
kiri kanan gerbang terdapat pos penjagaan tinggi yang masing-masing dijaga oleh
orang-orang pemanah berpakaian hitam khas Teratai Darah. Busur panah terpentang
di tangan mereka dengan wadah anak panah tersampir dipunggung. Seperti layaknya
sebuah Kerajaan, Teratai Darah juga memiliki pasukan tombak yang melakukan
pengawalan di dalam perkampungan.
Malam mulai turun di hutan kaki
gunung raung, gelap mulai mengungkupi. Di bagian paling dalam perkampungan
terpisah oleh aliran air terjun Kerajaan Teratai Darah memiliki satu bangunan
utama yang berfungsi sebagai istana tempat bertahta sang Junjungan. Bangunan
kayu panggung besar ini terletak di tepi Air Terjun dengan halaman yang luas.
Obor ditancapkan di sepanjang bagian dinding rumah sehingga keadaan terang
ditambah pula bulan purnama tampak bersinar penuh diangkasa. Tidak seperti
malam biasanya suasana di halaman istana Kerajaan Teratai Darah tampak ramai
berkumpul puluhan manusia berseragam pakaian hitam khas Teratai Darah membentuk
sebuah lingkaran besar. Mereka mengerumuni sebuah altar batu kuno berukuran lebar
yang pinggirannya dibuat berbentuk bunga
Teratai besar. Diatas altar ini
terbaring sosok tubuh
Perempuan, berpakaian khas Perempuan bangsawan Jawa lengkap
dengan perhiasannya, tubuhnya tak bergerak sepertinya dalam keadaan
tertotok.
Di sisi kiri dan kanan terdapat baris kursi batu yang
berjajar rapi membentuk setengah lingkaran, diatas kursi batu yang paling depan
duduk dengan tenang Sang Junjungan Kerajaan Teratai Darah, Bimasena tampak
duduk dibarisan kursi dibelakangnya disebelahnya ada seorang lelaki bercambang
bawuk lebat berkepala botak, dilehernya tergantung sebuah tasbih besar, orang
ini memegang senjatan sebuah tongkat besi dengan ujungnya tajam berbentuk bulan
sabit, ia adalah Warok Bayanaka. Dikursi batu bagian belakang tampak pula Ratu Iblis
Kupu-Kupu Merah, Kobra Merah dan Kobra Kuning serta para petinggi Kerajaan
Teratai Darah lainnya, hanya Putera Api yang tak tampak ditempat itu.
Altar lebar itu memiliki motif beralur pada bagian
tengahnya. Motif alur itu membentuk gambar bunga Teratai. Di bagian atas bagian
kepala batu altar terdapat lamping batu menyerupai nisan batu. Terdapat baris
tulisan aksara sansekerta pada batu seperti nisan itu.
“Prasasti Teratai Darah”
Prasasti
Teratai Darah lahir dari gelapnya mayapada..
Siapa
yang membacanya tiga kali akan mendapatkan berkah..
Ilmu
kanuragan sakti mandraguna..
Teratai
Merah meminta darah..
Dari
Perawan suci berdarah raja..
Siapa
yang mengabulkannya..
Tepat
tengah purnama..
Pada
Saka Kartikamasa..
Akan
digdaya kanuragannya…
“malam ini kita akan mengadakan persembahan darah perawan
suci Puteri Demak kepada Penguasa Kegelapan !
“Tepat tengah malam Ketika sinar bulan purnama bulat
menyinari maka itu waktunya Teratai Merah meminta darah, kita akan kuasai rimba
persilatan !!” Seru sang Junjungan dari kursi batu sembari mengacungkan sebilah
belati tajam berkilat. Para Anggota Kerajaan Teratai Darah serentak bersorak
sorai mendengar seruan sang Junjungan.
“Kobra Merah ! apakah kau sudah mempersiapkan segala sesuatu
yang akan digunakan dalam ritual” Tanya Sang Junjungan.
“semua sudah siap wahai junjungan ! Kemenyan, kembang tujuh
rupa, air tujuh sumur sudah dipersiapkan di samping altar diatas sebuah baki”
Jawab Kobra Merah sambil berdiri dari kursi batu.
“Bagus ! malam ini aku harap semua rencana kita berjalan
lancar”
“Kobra Kuning harap kau
persiapkan pasukan sebaik mungkin, tambah pengawalan di pintu gerbang, kita
harus bersiap-siap jika ada serangan mendadak dari Kesultanan Demak, ajak Kobra
merah Bersama-sama melakukan penjagaan”
Perintah Sang Junjungan.
“Pasukan sudah Bersiap siaga wahai Junjungan ! kabar
terakhir yang aku terima dari mata-mata kita bahwa Demak sedang menyiapkan
serangan besarbesaran terhadap kita” menjelaskan Kobra Kuning.
“Pasukan Demak memang harus menjadi pertimbangan tapi kita
tidak perlu gentar, jika mereka berani menyerbu kemari maka kita buat tempat
ini jadi kuburan bagi mereka”
Kobra kuning dan Kobra merah
menjura memberi hormat lalu tinggalkan halaman istana Kerajaan Teratai Darah
menuju gerbang perkampungan
Teratai Darah.
“Dimanakah wakil Kerajaan Teratai Darah ? aku tidak melihat
Putera Api dari tadi” tanya Sang Junjungan, matanya memandang berkeliling.
“Ampun wahai junjungan ! Putera
Api tadi berkata kepadaku bahwa dia akan menyusul karena ada keperluan terlebih
dahulu di kediamnnya” Warok Bayanaka yang sedari tadi berdiam diri
menyahut. “Keparat ! kau pasti tergiur
kemolekan tubuh dan kecantikan paras murid Dewa Tuak itu Putera Api ! tapi
tidak apa setelah aku menguasai rimba persilatan kau tak akan berguna lagi dan
akan mendapatkan kematianmu !” berkata sang
Junjungan dalam hati
***
Diatas dahan sebatang pohon rindang besar diluar pagar
Kerajaan Teratai Darah sepasang pemuda dan pemudi sedang mendekam senyap,
seorang pemuda gondrong berpakaian dan berikat kepala putih, Pemuda ini suka
sekali menggaruk kepalanya sembari mengawasi ke arah rombongan pasukan Teratai
Darah diseberang sana dan dara berbaju kurung khas Minang dengan Tengkuluk
kepala berbentuk Tanduk Kerbau. Keduanya bukan lain Wiro Sableng dan Puti
Seruni yang sedari tadi menguntit semua yang terjadi di halaman Istana Teratai
Darah.
“Uda Wiro ! apa yang harus kita lakukan sekarang ?” Tanya
Puti Seruni.
“Sebaiknya
kita menunggu dahulu Puti” Jawab Pendekar 212.
“Keselamatan Puteri Demak itu terancam uda, jika sampai
darahnya membasahi altar itu maka ilmu hitam yang terkandung dalam batu itu
akan dikuasai orang yang dipanggil sang junjungan”
“Iya aku tahu Puti, lihat bulan Purnama sebentar lagi
mencapai puncaknya berarti akan segera tiba waktunya persembahan”
“Lihat kesana uda !” bisik Puti Seruni.
Wiro arahkan
pandangannya ke halaman istana. Di halaman istana Teratai Darah tampak Sang
Junjungan mendekati Ratu Ayu Wulan yang tertotok kaku tak bergerak diatas altar
batu, ia ditemani Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah sebagai pembawa baki berisi . Sang
Junjungan mengambil bunga tujuh rupa dari baki yang dipegang Ratu Iblis
kupu-kupu merah lalu taburkan bunga tujuh rupa ke sekujur tubuh puteri Demak
itu. Kemudian ambil bokor kuningan berisi air tujuh sumur. Orang bercaping ini
guyurkan air dari dalam bokor ke sekujur tubuh Ratu Ayu Wulan dari atas kepala
hingga ujung kaki. Lalu sang Junjungan
membaca tulisan di bagian kepala batu altar, ia mengulanginya sebanyak
tiga kali.
Bulan Purnama semakin mendekati titik paling tengahnya di
angkasa sinarnya yang terang menyapu halaman Istana Teratai Darah dan sekujur
tubuh Ratu Ayu Wulan di atas altar batu. Sang Junjungan mulai membesetkan
Belati tajamnya ke lengan Puteri Demak. Darah mulai merembes mengalir dari luka
sayatan itu ke arah alur garis gambar teratai diatas altar . Andai tubuh sang
dara tidak tertotok kaku yang membungkam suaranya tentu sedari tadi puteri
demak ini berteriak ketakutan dan kesakitan. Para anggota Kerajaan Teratai
Darah berseru tegang ketika Sang Junjungan Kembali mengangkat Belatinya
tinggi-tinggi dan mengacungkan bagian lancipnya ke arah dada Puteri Demak. Lalu
dengan cepat tanpa ragu sang Junjungan hujamkan belatinya ke arah dada Puteri
Ratu Ayu Wulan. Pendekar 212 yang sudah mengetahui bahaya kematian mengancam
sang puteri, ia berkelebat sangat cepat sembari cabut Kapak Maut Naga Geni 212
nya dari balik baju putih. Belum lagi Murid Sinto Gendeng mencapai belati lawan
guna menahan hujaman Sang Junjungan, terlebih dahulu berkiblat Cahaya
berkilauan sebuah senjata tajam dari arah samping “Tranggggggg” Belati di
tangan sang Junjungan terpental akibat benturan sebuah senjata yang berkilauan
tadi. Sang Junjungan berseru kaget lalu melompat menjauh sejarak dua tombak
dari altar batu. Puti Seruni yang ikut Bersama pendekar 212 segera sambar tubuh
Puteri Ratu Ayu Wulan dan membawanya ke tempat aman diluar pagar istana
Kerajaan Teratai Darah.
Ratu Iblis yang berada dibelakang orang yang menghantam
belati Sang Junjungan langsung hantamkan kipas warna warninya ke arah leher
dengan cara membokong. Wiro Sableng yang mengetahui Tindakan pengecut Ratu
Iblis Kupukupu merah berteriak marah. Kapak Maut Naga Geni 212 berkiblat cepat
disertai suara seperti ratusan tawon mengamuk ke arah sang nenek dan “Crasssss”
tanpa diduga kepala Ratu Iblis Kupukupu merah putus menggelinding ke tanah
tertebas Kapak Naga Geni 212. Kutungan tubuhnya terbanting ke atas altar, darah
segar menyembur dari kutungan leher membanjiri alur garis di atas altar
sehingga aliran darah membentuk gambar Teratai berwarna merah oleh darah. Altar
batu itu kemudian mengeluarkan asap merah mengepul disertai Suara seperti air
mendidih, asap pekat semakin mengepul tebal meliuk – liuk membentuk kerucut
aneh.
Bimasena yang duduk diatas batu terkejut melihat kejadian
cepat dihadapannya, tapi yang membuat ia lebih terkejut lagi Ketika tanpa
sengaja melihat angka 212 yang tertera di dada Wiro Sableng Ketika baju putih
sang pendekar tersingkap dibagian dada saat menebas putus leher Ratu Iblis
Kupu-Kupu Merah, ia teringat angka darah yang tertulis dibatu dekat ia
menemukan jenazah gurunya di puncak Argopuro adalah angka 212. Dengan penuh
amarah Murid Begawan Rakajaya ini melompat hunus pedangnya ke hadapan murid
Sinto Gendeng.
“Pemuda Jahannam ! jadi kau yang membunuh mahaguru!” teriak
Bimasena. Ia segera hendak segera menyerang pendekar 212, akan tetapi sebelum
itu terjadi, asap merah berbentuk kerucut yang keluar dari altar batu tiba-tiba
menggulung Bimasena. Pemuda ini menjerit keras tubuhnya hilang dalam gulungan
asap merah pekat seperti tertelan.
“Celakaa ! darah tumbal Prasasti Teratai Darah bukan darah
perawan suci tapi darah Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah” Sang Junjungan tercekat. Ia
melirik ke samping, tiga tombak disampingnya berdiri seorang pemuda gagah
berpakaian rompi dan celana putih ia memakai Destar putih (Sejenis Tanjak
Melayu khas Minangkabau) sebagai pengikat kepala rambutnya yang gondrong
sebahu. Sebilah Mandau bergagang kepala Burung Elang Putih tersampir di depan
dadanya yang bidang berotot dengan gambar rajah wajah Harimau yang sedang
mengaum didada sang pemuda.
Melihat cirinya pemuda ini bukan lain adalah Andana Harimau
Singgalang. Murid Datuk Perpatih Alam Sati ini yang tadi memukul mental belati
Sang Junjungan.
Beberapa
Langkah dihadapannya sang Junjungan melihat Pendekar 212 sedang menenteng
kapaknya, melihat murid Sinto Gendeng membuat darah Sang Junjungan mendidih
karena amarah sekaligus terkejut “Keparat !! lagi-lagi pemuda sableng ini hadir
sebagai pengganggu” membatin sang Junjungan. Untuk menutupi keterkejutannya
sang Junjungan berseru.
“Pendekar 212 ! jauh-jauh kau datang ke Kerajaanku hanya
untuk mengantarkan nyawa busukmu”
“Manusia bercaping yang bermimpi menjadi raja, sebaiknya
bangun dari mimpimu dan cuci muka Ha..Ha..Ha” ejek Pendekar 212.
“Sebenarnya ia cocok jadi raja sobat ! tapi raja tikus
comberan kotaraja Hua..Ha..Ha !” Andana ikut nimbrung menimpali.
Menggembung rahang Orang bercaping karena merasa diejek
“Kalian boleh tertawa sepuasnya nanti di Neraka ! kalian cincang dua pemuda ini
jangan diam saja !” teriak Sang Junjungan kepada para anggota Kerajaan Teratai
Darah yang berada di tempat itu.
7
Kita tinggalkan dulu Andana Harimau Singgalang dan Pendekar
212 Wiro Sableng yang dikeroyok para anggota Kerajaan Teratai Darah. Di sebuah
bangunan panggung besar di sisi timur perkampungan Teratai Darah, dalam sebuah
kamar dengan ranjang bagus Putera Api memandang berkilat ke tubuh sintal
Permani. Sang Dara berteriak mencaci maki Putera Api yang mengeluselus
pahanya.
“Permani ! itukan namamu ! malam ini kau akan mendayung
kenikmatan Bersama Ha..ha..Ha..Ha”
“Bangsat Pengecut !! lepaskan totokanmu mari kita bertarung
sampai mati” bentak sang dara. Marah bercampur takut merayapi diri
Permani.
“Siapa takut gadis cantik ! aku siap bertarung nikmat sampai
pagi bersamamu Ha..Ha..Ha” belum lenyap tawa Putera Api tangannya bergerak
cepat ke arah dada Permani “Breeeettttt” pakaian kuning Permani robek besar
dibagian dada. Putera Api tersilau oleh kebagusan sepasang Bukit Kembar Permani
yang kencang. Nafsu Tokoh golongan hitam dari puncak Semeru ini menggelegak.
Hidungnya kembang kembis menahan nafsu. Tak tahan lagi Putera Api benamkan
wajah gagahnya ke bukit kembar Permani yang membusung. Pemuda ini geluti
Permani dengan penuh birahi. Permani menjerit ketakutan dan menghiba agar
Putera Api menghentikan perbuatannya.
Putera Api angkat wajahnya yang memerah dari dada permani
“Apakah wajahku tidak gagah Permani sehingga kau tak sudi mencari kenikmatan
bersamaku Ha..Ha..Ha”
Permani menangis sesugukan Ketika Putera Api melorotkan
celana Panjang kuningnya. Ia berulang kali mengucapkan nama Tuhan dalam hatinya
memohon pertolongan. Putera Api segera melepaskan seluruh pakaiannya. Permani
menjerit keras Ketika pemuda itu hendak meneduhinya. Sesaat lagi Permani akan
terenggut kesuciannya, yang maha kuasa mengabulkan doanya. Jendela kamar
tiba-tiba hancur berkeping-keping
“Pemuda bejat !! terima
pencarianmu !!” satu bentakan disertai berkelebatnya satu bayangan biru muda
sangat cepat “Bukkkkkk” satu tendangan keras menghantam dada Putera Api yang
hendak menggagahi Permani. Putera Api mencelat mental ke sudut kamar, tubuhnya
menghantam jambangan bunga di sudut kamar hingga berantakan.
Bayangan biru itu segera sambar tubuh Permani, ia juga cepat
sambar pakaian kuning Permani lalu kabur melalui lubang jendela kamar yang
terpentang lebar. Putera Api bangkit dari lantai kamar, pecahan keramik
berserakan. Murid Malaikat Setengah Iblis ini pegangi dadanya yang serasa
hancur kena tendangan si bayangan biru muda. Andai bukan seorang Putera Api
tentu tendangan tadi sudah menghancurkan dadanya.
“Keparat !! siapa orang yang melarikan Permani, kecepatannya
laksana kilat” pemuda ini menggerutu Panjang pendek. Belum sempat ia
berpakaian, pintu kamar diketuk berulang kali dengan ketukan keras. Putera Api
merasa jengkel sekali dengan marah ia tendangkan kaki kanannya ke pintu kamar
hingga hancur berantakan. Orang yang mengetuk pintu ternyata salah seorang
pengawal Kerajaan Teratai Darah terpental kena ambrukan pintu kamar. Orang ini
mengeluh di lantai papan luar kamar.
“Pengawal setan ! cepat katakan apa keperluanmu”
“Ampun Wakil Junjungan ! Kerajaan kita diserang Pasukan
Kesultanan Demak berjumlah lebih dari seribu orang, Sang Junjungan juga sedang
bertempur dengan dua orang pemuda Bernama Wiro Sableng dan Andana”
Mendengar nama Andana, Putera
Api semakin marah, penuh kesal pemuda ini tampar keras pengawal yang memberikan
laporan. Pengawal Teratai Darah ini terpuntir jatuh dengan mulut pecah
berdarah, ia mengerang kesakitan di lantai papan. Putera Api segera mengenakan
pakaiannya dan berkelebat menuju Istana Utama Kerajaan
Teratai Darah.
Merasakan
keadaaan sudah aman, di bawah sebuah pohon Jati Hutan, Sosok Bayangan biru muda
yang melarikan Permani segera menurunkan Permani dari panggulannya lalu
melepaskan totokan sang dara. Mengetahui dirinya sudah ditolong, Permani
ucapkan terima kasih berulang kali kepada sosok berpakaian ringkas biru muda
dihadapannya. Sosok
itu seorang Dara cantik luar biasa berambut pirang Panjang.
Dua lesung pipi merebak di kedua pipinya yang mulus menambah kecantikannya.
Permani segera memakain pakaian kuningnya.
“Terima kasih saudari atas pertolonganmu jika kau tak datang
Nasib buruk akan menimpaku seumur hidup” ucap Permani sembari kencangkan tali
pengikat celana Panjang kuningnya.
“Sudah kewajiban kita untuk saling menolong” jawab Dara
rambut pirang.
“Namaku Permani, siapa namamu saudari ?” tanya Permani.
“Namaku Bidadari Angin Timur” jawab sang dara berpakaian
biru muda. Kedua pemudi ini lalu menuju
Istana Utama Kerajaan Teratai Darah Dimana pertempuran sengit tengah terjadi.
***
Terdengar suara bergemuruh Ketika seribu lima ratus prajurit
Demak menyerbu perkampungan Kerajaan Teratai Darah, suara derap kuda terdengar
bergema-gema. Pasukan pemanah dan pengawal Kerajaan Teratai Darah di pintu
gerbang tak mampu membendung serangan pasukan Kesultanan Demak hingga dalam
waktu singkat pasukan Demak telah berhasil membobol pintu gapura utama Teratai
Darah. Dari dalam perkampungan Pasukan Kerajaan Teratai Darah segera menghalau
pasukan Demak yang menyerbu. Pertempuran luar biasa dahsyat tersaji di
perkampungan Kerajaan Teratai Darah. Suara ribuan senjata tajam beradu dan
suara jerit serta erangan kematian berkumandang di tempat itu. Satu persatu
korban berjatuhan baik dari Demak maupun pihak Teratai Darah. Amis darah
merebak tajam ditambah tanah yang mulai berubah warna merah karena darah.
Disisi lain, mendapatkan serangan para anggota Teratai
Darah, Wiro Sableng mainkan jurus “Ular Gila menarik Gendewa dipadu dengan
Jurus Kunyuk Melempar Buah” dan Andana Harimau Singgalang mainkan jurus Silek
Kumango dan Jurus Sayap Elang Membelah Angkasa. Sekali dua pendekar ini
menggerakkan tangan dan kaki belasan Anggota Teratai Darah roboh berkaparan.
Disela-sela pertarungan yang sengit itu, Sang Junjungan memerintahkan Warok
Bayanaka agar pasukan Teratai Merah
ditempat itu segera membantu Pasukan Teratai Merah di pintu gerbang utama sebab
pasukan Demak seperti air bah sudah mulai membanjiri perkampungan Kerajaan
Teratai Darah.
“Andana Harimau Singgalang aku lawanmu ! satu suara
terdengar keras dari arah samping disertai berkelebatnya bayangan merah. Andana
yang mendapat serangan cepat menangkis dengan tangannya “Bukkkkkkk” dua lengan
beradu keras. Andana terjajar dua Langkah. Sementara bayangan merah tersurut ke
belakang. Melihat siapa yang menyerangnya Andana Harimau Singgalang berseru
“Putera Api !! rupanya kau sudah menjadi kacung di Kerajaan Teratai Darah”
“Harimau Singgalang bersiaplah hari ini malaikat maut akan
mencabut roh busukmu”. Putera Api keluarkan jurus Tarian Api, semenjak
mendapatkan tambahan inti kayangan api murid Malaikat Setengah Iblis ini
merasakan tubuhnya lebih enteng dan kuat. Menghadapi lawan Tangguh, Harimau
Singgalang Jurus Cakar Elang Merobek Langit. Cakaran dan jotosan Andana Harimau
Singgalang mencari sasaran di leher dan dada Putera Api, mendapat serangan
Andana, Putera Api tidak gentar sedikitpun. Tubuhnya meliuk-liuk seperti lidah
api yang terhempas angin deras menghindari setiap serangan ganas Andana Harimau
Singgalang. Perkelahian dua tokoh sakti Tingkat tinggi ini benarbenar tersaji
dengan seru. Hanya bayangan pakaian hitam dan putih dari keduanya yang Nampak
dipandangan kasat mata.
Sang Junjungan Teratai Darah pun segera melompat ke kalangan
perkelahian, dengan gerakan luar biasa sebat orang bercaping ini menyerang
Murid Sinto Gendeng yang sedang menghajar lima anggota Teratai Darah.
“Pendekar 212 ! nyawamu akan tamat malam ini” Orang
bercaping berseru lalu dua tangannya hantamkan pukulan tangan kosong. Suara
angin menderu-deru bagai angin topan. Menghadapi serangan yang dahsyat ini,
Wiro langsung balas menghantam dengan pukulan
Segulung Ombak Menerpa karang. “Bummmmmm Bummmmm !!” letusan dahsyat
terjadi Ketika pukulan yang dilancarkan Sang Junjungan beradu dengan pukulan
sakti Pendekar 212. Tanah bergetar hebat, jika tidak mengimbangi diri tentu
Wiro akan terjatuh tertekuk lutut ketanah. Orang bercaping tergontai-gontai,
aliran darahnya mengalir tak karuan.
Orang
bercaping yang dipanggil Sang Junjungan Kembali lancarkan serangan susulan
yakni tendangan cepat ke arah dada murid Sinto Gendeng, Melihat lawan
menendang, Wiro melompat. Tangan kanannya lalu menderu ke arah batok kepala
lawan. Orang bercaping Yang hendak dikemplang batok kepalanya segera pergunakan
tangan kanan untuk menangkis. Serangan tangan Wiro berhasil ditahan oleh Sang
Junjungan. Dua tangan beradu keras, Orang bercaping merasa tubuhnya seperti
terhenyak ke tanah sementara Pendekar 212 merasakan tubuhnya membal ke atas
akibat hebatnya tenaga dalam lawan saat beradu tangan tadi meski tenaga dalam
Wiro sendiri sama sekali tidak dibawah orang bercaping, Sambil turun kini Wiro ganti melancarkan
tendangan! Kali ini ia mengincar kepala orang bercaping. Sang Junjungan
kelitkan tendangan kaki Wiro Sableng dengan miringkan kepalanya. Dari bawah orang
bercaping hantamkan tinjunya ke atas. Tinju itu mencari sasaran di dagu Murid
Sinto gendeng.
Wiro yang tak ingin dagunya hancur Tarik kepalanya ke
belakang lalu lentingkan tubuhnya setengah lingkaran. Wiro lalu melakukan
tendangan setengah lingkaran. Orang bercaping yang dapat membaca arah tendangan
Wiro melompat tiga Langkah kebelakang sehingga tendangan pendekar 212 hanya
mengenai udara kosong. Sang Junjungan lalu hantamkan pukulan tangan kosong
berulang kali. Wiro pontang panting menghindari serangan pukulan lawan, Tubuh dan pakaian Pendekar 212
berkibar-kibar tersapu angin pukulan Sang Junjungan. Orang bercaping sepertinya
tak ingin memberi kesempatan, ia memburu pendekar 212 dengan cepat dengan
tendangan kilat ke arah kepala. Wiro keluarkan jurus Jurus Kipas Sakti terbuka,
kedua telapak tangan murid Sinto Gendeng bersilang terkembang menangkis
tendangan lawan. Perkelahian seru Kembali berlanjut.
Dilain Pihak pertarungan antara
Andana Harimau Singgalang dan Putera Api berjalan seimbang dan sudah memasuki
jurus yang ke sembilan belas. Berbagai jurus silat sudah dimainkan oleh kedua
pemuda ini. Putera Api benar-benar menghadapi lawan digdaya, Dalam hatinya dia
membatin, "Keparat ini memiliki kepandaian semakin tinggi semenjak
pertemuan beberapa waktu yang lalu. Berbahaya. Kalau tidak segera kuhabisi bisa
berabe dibuatnya ..." Maka tanpa menunggu lebih lama Putera Api menyerang.
Dia kerahkan seluruh kepandaiannya, gunakan tenaga dalamnya yang tinggi dalam
setiap pukulan atau tendangan yang dilancarkan. Mengetahui serangan Putera Api
sangat berbahaya, Andana mainkan jurus-jurus silat yang ia dapatkan dari Nenek
Mawar Biru di pulau Bangka yakni Jurus Dewa Surya Menarik Busur Panah lalu
Jurus Dewa Surya Menyapa Rembulan.
(Eps. 9 Harimau Singgalang
berjudul Purnama di
Langit Sriwijaya)
Putera Api merasakan serangannya seperti tertahan oleh suatu
dinding yang disebabkan oleh Tenaga Dalam Harimau Singgalang. Andana Kembali
memburu dengan tendangan kilat ke arah perut , menghindari tendangan Murid
Datuk Perpatih Alam Sati, Putera Api bersalto mundur sebanyak dua kali lalu
berbalik hantamkam Pukulan Api Neraka. Lidah Api merah bara menghampar panas ke
arah Harimau Singgalang. Andana lalu jatuhkan tubuhnya sama rata dengan tanah
lalu balas menghantamkan telapak tangannya. Sinar putih panas dengan suara
menggelegar beradu dengan Pukulan Api Neraka Putera Api. Bangunan istana
panggung bergetar hebat. Baik Andana maupun Putera Api sama-sama terhempas
punggung ke tanah. Andana merasakan dadanya sesak remuk, ia terbatuk-batuk
dengan napas sesak. Cukup lama pemuda ternanar dengan pandangan gelap.
“Jahannam lagi-lagi tenaga dalamku belum bisa melampaui
Harimau Singgalang !!” mengumpat Putera Api, ludahnya terasa asin sebab ada
darah yang mengalir melewati kerongkongannya. Ia menderita luka dalam meski tak
seberapa parah.
Ketika pertarungan sengit
antara Andana Harimau Singgalang dengan Putera Api serta Wiro Sableng melawan
Sang Junjungan terjadi, Ratusan Pasukan Demak yang berhasil mengalahkan pasukan
Teratai darah di gerbang utama dan perkampungan sudah memenuhi dan mengepung
Istana Kerajaan Teratai Darah. Senopati Raden Panduwinata memimpin depan
sekali. “Kurung tempat ini jangan sampai ketua dan wakil Teratai Darah lolos
dari tempat ini” “Sebaiknya kau menyerah
Putera Api ! tempat ini sudah terkepung” seru Andana Harimau
Singgalang.
Putera Api mengekeh “Apakah kau tak sanggup mengalahkanku
Andana sampai berlindung di belakang pasukan Demak”
“kau boleh jumawa Putera Api tapi sebentar lagi tubuhmu akan
dibuat jadi sate oleh pasukan Demak. Ha….Ha…Ha” ejek Putera Api
“Bedebah !!
mampuslah kau !” Putera Api hantamkan pukulan Api Biru, Cahaya biru terang
panas menggebubu ke arah Harimau Singgalang. Murid Datuk Perpatih tak segan –
segan lagi keluarkan Pukulan Telapak Halilintar. Sinar Putih panas disertai
suara gelegar hebat mencuat. Dua pukulan sakti dengan tenaga dalam tinggi
beradu, “Bummmmm Bummmmmm” Kembali tempat itu terjadi getaran hebat. Kaki –
kaki mereka yang berada di halaman istana merasakan hebatnya getaran. Putera
Api merasakan tubuhnya seperti leleh sedangkan Andana terduduk tak berdaya,
Tangannya kaku panas.
“Prajurit tangkap pemuda itu !” Raden Panduwinata berseru
memerintahkan para prajurit menangkap Putera Api. Puluhan prajurit Demak maju
bergerak. Putera Api menyumpah serapah mendengar perintah senopati Demak.
“Setan !! bisa barabe aku di tempat ini” Putera Api berkata
dalam hati. Pegangi dadanya yang mendenyut sakit, Pemuda ini hantamkan pukulan
tangan kosong tapi tidak ke arah Pasukan Demak. Ia hantamkan ke tanah di
hadapan para prajurit. Tanah pecah bertebaran menutupi pemandangan.
“Jangan kabur kau Putera Api !” Andana memburu ke depan
namun Putera Api sudah berkelebat lenyap dibalik pagar Istana Kerajaan Teratai
Darah dalam kegelapan malam dan kerapatan pepohonan hutan.
Sang
Junjungan yang mengetahui Putera Api melarikan diri menyumpah serapah, penuh
geram ia menerkam Pendekar 212. Sang Junjungan merasa sedikit kecut mengetahui
dirinya sudah terkepung, ia keluarkan jurus-jurus mautnya menyerang murid Sinto
Gendeng dengan kalap. Demikian hebatnya
serbuan Sang Junjungan hingga Wiro Sableng merasa
seolah-olah ada setengah lusin musuh yang menggempurnya saat itu. Tubuhnya
disambar angin serangan dari berbagai penjuru dan sesaat kemudian satu pukulan
menyerempet bahunya hingga pemuda dari puncak Gunung Gede ini melintir. Orang
bercaping yang melihat lawan kehilangan keseimbangan kirim tendangan ganas dari
samping kiri ke arah perut. Namun saat itu Wiro sudah dapat menguasai diri. Ia
membentak nyaring. Saat itu pula tubuhnya lenyap dari pemandangan dan yang ada
kini hanya bayangan putih saja menyambar kian kemari.
Tahu-tahu jotosan pendekar 212 sudah dekat sekali ke dada
Sang Junjungan. Sang Junjungan terkejut hendak berkelit dan sodokkan siku nya
ke depan namun jotosan pendekar 212 datang lebih cepat “Bukkkkk” , sang
Junjungan menjerit keras terpental lima Langkah ke belakang, darah tersembur
dari mulutnya dibalik caping. Andai tak memiliki kesaktian yang paripurna tentu
sudah hancur dada sang junjungan terkena jotosan Murid Sinto Gendeng yang mengandung
tenaga dalam tinggi. Dilain pihak meski berhasil mendaratkan jotosannya, sikut
Sang Junjungan juga berhasil menyodok ulu hati pendekar 212 “Hekkkk” Tubuh Wiro
terlipat ke depan, perutnya sakit seperti mau pecah, napasnya sesak sempit.
Memandang berkeliling Sang Junjungan kertakkan rahangnya
dibalik kain caping. “Jahannam !! mati konyol diriku ditempat ini” Ketua
tertinggi Kerajaan Teratai Darah ini mengeluh. Timbul niatnya melarikan diri
saja. Ia sudah terkepung ratusan prajurit Demak belum lagi Pendekar 212 Wiro
Sableng, Andana Harimau Singgalang, serta tokohtokoh silat istana lainnya,
Bidadari Angin Timur, Permani dan Puti Seruni juga berada di halaman Istana
Teratai Darah. Tanpa berpikir Panjang Sang Junjungan memutar tubuhnya hendak
melarikan diri menyusul Putera Api.
“Kali ini kau masih bisa selamat Pendekar 212 ! lain waktu
aku pasti mampu menamatkan riwayatmu” seru sang Junjungan .
“Jangan lari kau !!” Andana berteriak mengejar Sang
Junjungan. Ia hantamkan Pukulan Telapak Halilintar lalu disusul Pukulan Badai
Topan Puncak Singgalang. Sang Junjungan berseru kaget mendapatkan serangan
hebat, dalam keadaan terdesak ia balas menghantam, udara malam terasa meredup
lalu dari tangan Sang Junjungan melesat Cahaya tiga warna menderu menyambut
pukulan Andana Harimau Singgalang.
“Apaaaa !! Pukulan
Gerhana Matahari !!! jangan jangan….” seru Wiro Sableng mengenali pukulan
lawan. Wiro bangkit hendak mengejar ke depan namun letusan pukulan sakti Andana
Harimau Singgalang yang beradu dengan Pukulan Tiga Warna membuat murid Sinto
Gendeng Kembali terduduk. Andana mencelat mental meski selamat dari beradunya
pukulan sakti. Sang Junjungan terpental muntah darah. Luka dalamnya menjadi
parah, terseok – seok ia berkelebat berusaha melarikan diri menuju kegelapan hutan
diluar pagar Istana Teratai Darah. Pendekar 212 yang tak ingin Sang Junjungan
kabur cabut kapak maut naga geni 212 dari balik pakaian putihnya lalu lemparkan
kapaknya. Suara seperti ratusan Tawon mengamuk terdengar disertai desingan
kapak yang cepat ke arah Sang Junjungan.
Bidadari Angin Timur dengan kecepatan kilat ikut ambil bagian mengejar
berusaha menangkap sang Junjungan. Di depan sana Sang Junjungan yang mengetahui
dirinya dalam bahaya segera merunduk. Kapak Maut Naga Geni 212 menderu di atas
kepalanya. Meski selamat namun caping bambunya masih tersapu hingga terbelah
dua, satu wajah gagah dengan rahang kukuh congkak tampak. Serangan tangan
Bidadari Angin Timur yang hendak menangkap kerah jubahnya berhasil pula
dikelitkan Sang Junjungan tapi ujung kuku tangan Bidadari Angin Timur masih
sempat merobek jubah hitam sang Junjungan hingga robek besar dibagian dada.
Dibalik jubah Teratai Darahnya dibagian dada terpampang gambar matahari bulat
besar berwarna merah lengkap dengan sinar yang juga berwarna merah
berlatarbelakang gunung berwarna biru.
“Keparat !! Pangeran
Matahariiiiiiii !! Kembali murid
Sinto
Gendeng berteriak mengenali musuh bebuyutannya itu. Wiro sambut Kapak Maut Naga
Geni yang menderu balik ke arahnya. Ia berusaha mengejar namun Pangeran
Matahari sudah lenyap tak ada lagi di tempat itu. Wiro bantingkan kakinya
dengan kesal.
“Wiro siapakah adanya orang itu ?” tanya Andana
mendekati.
“Pangeran Matahari dari Puncak Merapi” Desis Wiro
Sableng.
***
Belum lagi
hilang ketengangan semua orang di halaman Istana Teratai Darah akibat
pertempuran sengit yang terjadi, tiba – tiba Satu suara lolongan Panjang
terdengar menakutkan Ketika Pasukan Demak dan para tokoh silat baru hendak
bernapas lega. Semua orang bergidik ngeri menoleh ke arah Altar Batu yang terus
mengeluarkan gumpalan asap merah pekat. Dari balik gumpalan asap merah
berbentuk kerucut melompat sesosok tubuh tinggi besar. Yang mereka lihat bukan
sosok Bimasena yang tadi tertelan asap akan tetap sosok tubuh manusia berkepala
serigala, ia menyeringai menunjukkan taring-taringnya yang tajam, dari sela
gigi-giginya tampak lidahnya merah Panjang penuh dengan tetesan darah. Bagian
atas tubuh manusia serigala ini sampai ke pinggang ditumbuhi bulu kelabu lebat.
Pendekar 212, Andana Harimau Singgalang serta para tokoh bergidik ngeri.
Manusia Serigala ini Kembali melolong Panjang lalu menyerang
ke arah orang-orang yang ada disitu. Raden Panduwinata memerintahkan para
prajuritnya menyerang.
Para Prajurit Demak beramai-ramai melakukan serangan dengan
tombak dan pedang mereka. Namun tak satupun serangan senjata dari para prajurit
itu mampu melukai apalagi membunuh manusia serigala. Manusia Serigala mengamuk,
ia gerakkan tangannya yang berkuku Panjang, banyak prajurit Demak tumbang
dengan muka, dada dan perut robek. Jerit kesakitan kematian terdengar berulang
kali. Pendekar 212 maju ke depan, ia keluarkan jurus-jurus silat warisan Sinto
Gendeng menyerang Makhluk kepala Serigala. Semua serangan murid Sinto Gendeng
berhasil mengenai sasaran tapi tak satupun mampu menciderai makhluk itu.
“Celakaaa makhluk ini kebal senjata tajam, apa ia juga kebal
pukulan !! Wiro maju ke depan, tangannya sebatas siku berubah warna menjadi
keperakan, tak tanggung – tangung Wiro keluarkan pukulan sakti andalannya.
Dengan berteriak Wiro hantamkan Pukulan Matahari ke arah makhluk berkepala Serigala. “Wussssss”
Pukulan Matahari menderu Sinar keperakan
disertai hawa panas luar biasa lagi – lagi menghampar di tempat itu.
Makhluk kepala Serigala bukannya takut apalagi menghindar,
ia sengaja sambut Pukulan Pendekar 212 dengan pentangkan dadanya. Pukulan Sinar
Matahari telak mengenai tubuh Makhluk Serigala. Sang Makhluk hanya tersurut
beberapa Langkah tanpa cidera sedikitpun dan Pukulan Sakti warisan Sinto
Gendeng pecah bertebaran. Wiro dan orangorang disana melengak kaget. Melihat
ini, Andana Harimau Singgalang tanpa ragu menyerang Makhluk berkepala Serigala
sambil hantamkan pukulan-pukulan sakti tangan kosong. Bidadari Angin Timur,
Permani dan Puti Seruni juga turut ikut menyerang. Makhluk berkepala Serigala
terkepung serangan – serangan dahsyat mengandung tenaga dalam tinggi.
Sang Makhluk tanpa merasa jerih sedikitpun meski diserang
oleh banyak orang serta pukulan-pukulan sakti mengandung tenaga dalam. Sekali
ia pukulkan dan kibaskan tangannya, angin seperti badai menggebubu meruntuhkan
segala serangan. Andana merasakan nyawanya terbang ketika kibasan tangan
Makhluk berkepala Serigala mengarah tubuhnya. Dengan sisa tenaga yang ada
Harimau Singgalang melompat ke samping. Kibasan tangan Makhluk berkepala
Serigala mengenai pagar Kayu istana Teratai Darah hingga porak poranda. Deru
angin dari kibasan tangan Raksasa melemparkan Andana satu tombak menghantam
sebongkah batu besar di halaman istana Teratai Darah. Darah meleleh dari sela
bibirnya. Wiro Sableng cabut Kapak Maut Naga Geni dalam jurus kepala Naga
Menyusup Awan lalu serang sang makhluk dengan sebat.
Betapapun Wiro mengerahkan tenaga dalamnya dan mata kapak
berulang kali mengenai sasaran ditubuh Makhluk itu, tak satupun bacokan atau
sabetan Kapak Maut berhasil melukainya. Bahkan nyawa Murid Sinto gendeng kini
dalam bahaya sebab Makhluk kepala Serigala Kembali mengayunkan tangan kanannya
mengepruk mencari sasaran di kepala Pendekar 212. Wiro terkejut, ia rundukkan
kepala, geprukan mahkluk itu lewat beberapa kilan dari kepalanya. Makhluk
berkepala Serigala cakarkan tangan kirinya dari arah bawah, wiro berseru cemas,
sedikit terlambat menghindar dan brettttt baju putihnya robek besar. Sang
pendekar tersurut dua Langkah, cakaran manusia serigala meski tak tepat sasaran
tapi masih menggores dadanya hingga membuat luka cakaran tak seberapa dalam.
Belum lagi kejut Pendekar 212 hilang, satu gebukan sang makhluk menghantam
dadanya. Wiro Sableng terpental sejauh tiga tombak, ia megap-megap muntahkan
darah segar. Bidadari Angin Timur memburu pendekar 212, gadis cantik ini segera
membawa pendekar 212 menyingkir dari perkelahian lalu memangku dan memberikan
pertolongan dengan salurkan tenaga dalam ke dada murid Sinto Gendeng. Wiro
pandangi wajah cantik Bidadari Angin Timur membuat sang wajah sang dara bersemu
merah
“Bidadari
Angin Timur !! terima kasih !”, Bidadari Angin Timur seperti mendengar suara
merdu dari surga Ketika Wiro membisikkan ucapan terima kasih kepadanya. Timbul
semangat dalam diri gadis ini. Ia bangkit lalu menyerang Makhluk berkepala
Serigala dengan jurus-jurus hebat, Puti Seruni keluarkan seruling peraknya dan
bantu Bidadari Angin Timur.
Permani menyerang sang makhluk dari belakang. Dikeroyok tiga
dara berkepandaian tinggi, Manusia Serigala melolong tinggi, ia kibaskan
tangannya berulang kali. Kibasan tangannya mengandung Angin berhawa panas dan
kekuatan hebat. Tiga dara cantik bermentalan tersapu kibasan makhluk itu.
Melihat para
tokoh silat bertumbangan. Raden Panduwinata dan para prajurit Demak secara
serentak melakukan pengeroyokan tapi semua serangan itu tak memiliki arti sebab
mudah sekali bagi makhluk itu membuyarkan dan memporak porandakan pasukan
Demak. Tangannya berulang kali Kembali mencakar dan merobek tubuh para
prajurit. Raden Panduwinata sendiri terpental kena tendangan sang makhluk.
Makhluk berkepala Serigala itu disertai lolongan kemarahan kemudian mendekati
Permani yang terduduk hanya beberapa Langkah darinya. Manusia Serigala
tendangkan kakinya ke arah kepala sang dara. Permani yang tak siap tak bisa
berbuat banyak, ia berusaha menghindar dan melakukan tangkisan tapi terlambat
sebab tendangan makhluk itu lebih cepat datangnya. Sesaat lagi tendangan
makhluk itu
menghancurkan kepala Permani yang pasrah. Di udara
berkelebat satu bayangan putih disertai melesatnya cairan berbau harum. Cairan
itu mengenai Tubuh Manusia Serigala hingga ia terjajar beberap Langkah
kesamping, terselamatkan kepala Permani dari kehancuran. Anehnya sekali ini
tubuh sang makhluk mengeluarkan asap dan hangus terkena semprotan cairan harum
itu.
“Dewa Tuak !!!” seru Pendekar 212 mengenali seorang kakek
berpakain selempang kain putih dengan bumbung bambu tersampir dibahunya tegak
.
“Pendekar 212.. nasibmu selalu jelek kali ini kau kulihat
babak belur he..he..he”
“Makhluk itu kebal pukulan sakti dan senjata tajam tapi Tuak
Kahyangan mu berhasil menggurat luka bakar ditubuhnya” seru Wiro.
Makhluk Berkepala Serigala meradang melihat tubuhnya yang
terciprat cairan tuak tampak hangus. Dengan gerengan amarah serta lolongan
Panjang makhluk ini menyerang Dewa Tuak. Perkelahian seru terjadi, Dewa Tuak
berulang kali semburkan tuaknya. Andana dan Wiro Kembali menyerang ikut
membantu Dewa Tuak.
“Wiro kita harus bisa meringkus makhluk itu ! tampaknya
hanya tuak kakek itu yang bisa menciderainya” kata Andana disela menggempur
manusia Serigala.
“Benar sekali ucapanmu Andana ! tapi bagaimana caranya”
menyahut Wiro. Ia pandangi Kapak Maut Naga Geni ditangannya. Disana batang
kapak terdapat lubang-lubang yang bisa dijadikan seruling. Murid Sinto Gendeng
mendapatkan ide, ia mulai meniup seruling Kapak Maut Naga Geni, suara
memekakkan telinga terdengar. Manusia Berkepala Serigala itu seperti tertahan
dan terganggu oleh suara seruling Kapak Maut Naga geni, Gerakannya menjadi
kacau. Ia melolong tinggi berusaha mengimbangi suara seruling kapak naga geni.
Melihat sang makhluk yang terpengaruh oleh suara seruling kapak, Puti Seruni
ikut memainkan saluangnya disertai pengerahan tenaga dalam. Suara seruling
kapak naga geni dan Saluang perak Puti Seruni membuyarkan konsentrasi sang
mahkluk serigala. Makhluk ini menyerang dengan membabi buta namun dengan
gerakan kacau.
“Kek !! serang sekarang !” teriak Andana. Tanpa menunggu
lebih lama Dewa Tuak melompat dua tombak ke udara lalu berulang kali semburkan
Tuak Kahyangan dari mulutnya.
“Desssss Desssss” suara seperti besi panas terkena air
Ketika cairan Tuak Kahyangan mengenai tubuh Manusia Serigala. Makhluk ini
melolong kesakitan, tubuhnya melepuh mengeluarkan asap merah. Ia berusaha
menghantamkan tangannya ke arah Dewa Tuak tapi sang kakek tak lagi memberi
kesempatan, ia Kembali semburkan Tuak Kahyangannya. Kepulan asap merah tampak
semakin banyak keluar dari tubuh manusia serigala yang hangus terbakar. Segala
kekebalan tubuh sang makhluk musnah terkena cairan Tuak.
“Wiro ! ini saatnya ! teriak Dewa Tuak.
Wiro Sableng
segera tebaskan Kapak Maut Naga Geninya, Andana juga tak ingin melewatkan
kesempatan cabut Mandau Sakti Elang Putihnya yang tersampir di punggung hawa
dingin merebak Ketika Mandau sakti itu keluar dari sarungnya.
Diringi suara ratusan tawon mengamuk, kapak Naga Geni
menebas belah dada Manusia Serigala dan Tusukan Mandau Sakti Elang Putih
Harimau Singgalang menebus batang leher makhluk itu. Darah berwarna hitam busuk
mengalir dari luka di dada dan leher manusia serigala. Asap merah mengepul
tebal keluar dari tubuh sang makhluk, perlahan tubuh manusia serigala itu
ambruk ke tanah dan perlahan berubah Kembali menjadi tubuh Bimasena. Dalam
keadaan sekarat mendekati kematiannya, Pemuda ini melihat kabut tebal
dihadapannya dan dua sosok tubuh berbayang tembus pandang muncul dari dalam
kabut. Melihat wajah dua sosok itu, Bimasena tersenyum, tangannya mengembang
seperti hendak memeluk. Wajah dua sosok bayangan itu adalah wajah Begawan
Rakajaya dan Gantari. Begawan Rakajaya balas tersenyum dan berkata, suaranya
sayup sayup seperti jauh “Bima…. Saatnya kita pulang !!” dua sosok tubuh
berbayang tembus pandang itu kemudian menghilang diiringi Tarikan Napas
terakhir Bimasena.
***
Dewa Tuak dekati Andana dan Wiro Sableng lalu sang kakek
menggoda “Kalian berdua memiliki wajah hampir mirip dan sama-sama gagah, Andana
mungkin kau cocok dengan muridku Permani Ha..Ha..Ha”. Andana melengak kaget.
Wiro sendiri seperti menghindar, murid Sinto Gendeng takut kalau sang kakek
Kembali menagih janji perjodohannya dengan Anggini murid utama Dewa Tuak. Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Guru !!” teriak Permani dengan wajah memerah. Dewa Tuak
tertawa terbahak-bahak lalu berkata kepada Harimau Singgalang “Tak usah kau
jawab sekarang, Jika kau berkenan main-mainlah ke tempatku anak muda”. Andana
Harimau Singgalang tergagau apalagi disitu ada Puti Seruni yang tampak merengut
mendengar pembicaraan. “Ayo Permani kita tinggalkan tempat ini” Dewa Tuak Tarik
tangan Permani tinggalkan tempat itu.
“Dewa Tuak !! aku haus bagilah tuak harummu itu” seru Wiro.
Dewa Tuak menjawabnya dengan melemparkan satu bumbung bambu berisi tuak
kahyangan yang langsung disambut Pendekar 212 dengan gesit.
Murid Sinto Gendeng berpaling ke arah Bidadari Angin Timur,
dua mata beradu pandang membuat wajah cantik Bidadari Angin Timur bersemu
merah. Andai tak banyak orang ditempat itu, ingin rasanya Bidadari Angin Timur
memeluk pemuda yang dikasihinya itu.
“Puti ! apa kabarmu dik ?” Tanya Andana mendekati Puti
Seruni. Sang Dara hanya berdiam diri dengan wajah merengut.
‘Hei apa gerangan yang membuatmu merengut seperti ini dinda
?”
“Tanya saja dengan gadis Bernama Permani itu ! bukankah uda
akan dijodohkan dengannya” jawab Puti Seruni ketus. Mendapat jawaban seperti
itu, Andana ikut-ikutan menggaruk kepalanya yang tidak gatal seperti Wiro.
“Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan gadis itu Puti”
menjelaskan Harimau Singgalang.
“ahh kakek edan akibatnya
semuanya barabe”
Andana tahu sang dara cemburu buta mendengar dirinya
ditawari perjodohan. Tanpa berkata apapun Puti Seruni berkelebat tinggalkan
halaman istana darah itu. Andana mengejar mencoba menjelaskan Kembali namun
gadis itu sudah lenyap.
Wiro tertawa melihat Andana termangu “Andana ! gadis itu
cemburu padamu Ha..Ha…Ha”
‘Gara-gara Dewa Tuak urusan jadi edan ! kata Andana.
“Sudah sebaiknya biarkan saja dulu sobat ! nanti juga dia
kangen lagi padamu Ha…Ha..Ha”
Murid Sinto Gendeng teguk tuak dalam bumbung
bambu di tangannya lalu menyodorkan kepada Harimau Singgalang “Nah kau
sepertinya butuh minuman yang keras” , Andana mau tak mau terima sodoran
bumbung tuak dari tangan pendekar 212. Setelah menyodorkan tuak Kahyangan, Wiro
melihat seekor kuda perwira pasukan Demak yang tertambat di tiang Istana Darah,
dengan gerakan enteng Wiro melompat ke punggung kuda. Murid Sinto Gendeng
mengerling kepada Bidadari Angin Timur. Melihat kerlingan mata Wiro, Bidadari
Angin Timur tersenyum dan ikut melompat ke bagian belakang punggung Kuda duduk
dibelakang Wiro.
Ia melambaikan tangannya ke arah Andana Harimau
Singgalang
“Andana jaga dirimu baik – baik !” kata Bidadari Angin Timur
dengan tersenyum.
“Jangan sampai mabok cinta Andana ! lebih baik kau mabok
Tuak saja ! sampai berjumpa lagi Harimau Sing Malang Ha..Ha..Ha” menimpali Wiro
dengan tertawa tergelak – gelak.
“Dasar Sableng !!” seru Andana Harimau Singgalang lalu ikut
tertawa tergelak-gelak. Wiro lalu pacu kudanya meninggalkan halaman Istana
Darah, diluar pagar Istana Darah, Wiro Sableng berkata “Bidadari Angin Timur,
Jangan malu-malu kalau kau rindu peluk saja Ha..Ha..Ha” goda murid Sinto
Gendeng. “Ihh Dasar Pemuda Sableng !! seru Bidadari Angin Timur tapi ia tetap
rangkulkan kedua tangannya memeluk Wiro dari belakang. “Aku memang sableng !!
Wiro Sableng, Ha.. Ha… Ha” jawab Wiro sembari memacu kudanya dengan
kencang.
Pasukan Demak dibantu Andana Harimau Singgalang, Wiro
Sableng dan kawan-kawan akhirnya berhasil menghancurkan Serikat kejahatan yang
menamai diri Kerajaan Teratai Darah. Warok Bayanaka yang berhasil ditangkap
Ketika pertempuran kelak dijatuhi hukuman penjara oleh Sultan Demak. Sementara
Kobra Kuning dan Kobra Merah mendapatkan hari nahasnya. Kedua tokoh silat ini
mati dengan tubuh tercincang di dekat gerbang utama Kerajaan Teratai Darah.
Raden Panduwinata dan Pasukan Demak mulai bergerak meninggalkan Perkampungan
Kerajaan Teratai Darah Ketika fajar mulai menyingsing, meninggalkan mayat-mayat
pasukan Kerajaan Teratai Darah yang bertebaran mengeluarkan anyir darah.
Sepeninggal Wiro Sableng, Andana selonjorkan tubuhnya di
altar batu lalu teguk tuak harum dari bumbung bambu, ia menoleh Ketika satu
suara terdengar dari samping kiri. “Kangmas Andana ! kau sepertinya butuh
tumpangan !”. disana dari dalam kereta kencana Ratu Ayu Wulan berkata dengan
tersenyum manis. Belasan prajurit Demak melakukan pengawalan.
“Ahhh nasibku tidak malang – malang amat Wiro, Ha..Ha..Ha..”
kata Andana dengan tergelak. Pemuda ini mendekati kereta kencana. “Cihuyyyyy”
Harimau Singgalang melompat bergantungan ke atap kereta karena girang Ketika
Puteri Ayu Wulan mengulurkan tangannya menyambut Andana dari pintu kereta yang
terbuka..
TAMAT
0 $type={blogger}: