Bara Dendam Nyawa Kedua

Bara Dendam Nyawa Kedua



Asal manusia dari tanah, air dan api. Api dikodratkan lebih berkuasa dari kekuatan tanah dan air. 

Sumber api paling utama adalah kilat atau petir atau halilintar.

Siapa saja manusia sakit atau sekarat, disentuh halilintar setelah padanya dilafazkan kata-kata hikmah dan mujarab sebanyak sepuluhribu kali maka kehidupan akan menjadi miliknya kembali


Bagian 1


Langit sore mulai gelap. Awan hitam bergumpal-gumpal disertai angin kencang mulai bertiup menggidikkan. Laki-laki berjubah hitam dengan kumis dan janggut kelabu berlari laksana dikejar setan sembari memanggul sesosok tubuh dibahunya. Sesekali ia mendongak ke atas langit  sembari bergumam dalam hati. "Sebentar lagi hujan turun, satu kehidupan setelah kematian akan terbangun, tepat pada kilatan ketujuh halilintar menyambar dari atas langit. Aku harus bergegas ke puncak bukit Batu Hijau sesuai petunjuk dalam mimpi!"

Puncak bukit Batu Hijau menjulang di kejauhan. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh, laki-laki itu berlari tanpa sedikitpun merasakan berat meski tengah memanggul sesosok tubuh hitam hangus di atas bahu.  

Kilat pertama mulai berkiblat di atas langit disusul suara gemuruh menggidikan. Gerimis mulai turun saat laki-laki berjanggut kelabu akhirnya tiba di atas puncak bukit Batu Hijau. Bergegas ia mencari sebongkah batu datar sebesar anak kerbau lalu membaringkan sosok tubuh yang sejak tadi dipanggulnya.  Setelah mengatur nafas sejenak, laki-laki itu lalu mengedarkan pandangannya kemudian berseru. 

"Mahluk gaib penunggu bukit Batu Hijau, sesuai petunjuk dalam mimpi aku datang menemuimu membawa mayat manusianya bernama Adipati Jatilegowo!" Sunyi tak ada jawaban. Laki-laki berjubah hitam kembali mengulang seruannya. Untuk kali ketiga terjadi keanehan. Udara disekitar kawasan puncak bukit mendadak diselimuti hawa panas, dua tombak dari batu datar tempat dimana mayat Adipati Jatilegowo dibaringkan mendadak mencuat nyala api seolah keluar dari dalam tanah, makin lama makin membesar lalu membentuk wujud sesosok tubuh manusia dengan keaadan mengerikan. Bagaimana tidak, selain tubuh dipenuhi kobaran api dari ujung kaki hingga ujung kepala, sebagian tubuh mahluk berapi juga merupakan geroak alias lobang besar dari bahu hingga sebagian pinggulnya. Tiap kali nafasnya berhembus kobaran api disertai hawa panas menyapu. "Mahluk apa gerangan dihadapanku, apakah sejenis jin atau setan penghuni neraka? Seumur-umur baru kali ini aku melihat mahluk mengerikan begini rupa!" 

"Rawallangi! Wahai, kau sudah melaksanakan petunjuk membawa mayat manusia bernama Jatilegowo. Apakah engkau mengetahui riwayat kematiannya?" Tiba-tiba mahluk berapi keluarkan suara.

Laki-laki berjanggut kelabu bernama Rawallangi gelengkan kepala. "Aku hanya mengetahui sedikit riwayatnya, bukankah dahulu semasa hidup Jatilegowo pernah menghabisi gurunya sendiri yakni Daeng Wattansopeng dengan sebilah badik sakti bernama Badik Sumpah Darah, dengan badik itu pula ia melakukan kejahatan besar dimana-mana. Bagaimana dengan kematiannya sendiri aku sama sekali tidak mengetahui."

"Jatilegowo tewas ditangan manusia bernama Wiro Sableng atau lebih dikenal dengan julukan Pendekar 212. Salah satu musuh besarku sejak di negeri asalku seribu dua ratus tahun silam!" Tukas Mahluk yang dipenuhi kobaran api dengan bergetar. "Ketahuilah wahai Rawallangi, aku adalah utusan para dewa dari negeri atas langit, namaku adalah Lamanyala. Setelah sekian lama menyimpan dendam kesumat, aku ingin membunuh Wiro Sableng melalui tangan orang lain. Dengan cara memberikan kehidupan baru pada beberapa musuh besarnya yang telah tewas."

Lamanyala mendongak ke atas langit, saat itu langit makin gelap disertai angin kencang dan kilat yang menyambar-nyambar. Kemudian mahluk penuh kobaran api itu membuka telapak tangan kanannya. Entah darimana datangnya, tahu-tahu di atas telapak tangannya telah tergenggam sebuah kotak batu hitam. Rawallangi diam menunggu mencoba menerka di dalam hati apa isi kotak batu hitam tersebut. 

Lamanyala buka kotak hitam lalu mengeluarkan sebongkah batu bulat hitam menyerupai telur. "Ini adalah mustika batu Kencono Sukmo. Pusaka milik kerajaan, kucuri secara gaib dari tangan Sri Baginda. Konon dengan batu ini setiap yang telah mati akan dapat dihidupkan kembali, setelah tersambar halilintar ke tujuh dari langit. Tugasmu wahai Rawallangi untuk melakukan ritual seperti petunjukku dalam mimpi saat ini juga. Apakah engkau mengerti?"

Rawallangi bersimpuh setengah berlutut saat Lamanyala mengangsurkan batu hitam Kencono Sukmo ke arahnya.  (Mengenai riwayat Lamanyala harap baca serial Wiro Sableng dalam rangkaian episode Bola-bola Iblis hingga Istana Kebahagiaan, sementara perihal mustika Kencono Sukmo harap baca episode ; Manusia Halilintar)

Sesuai petunjuk, Rawallangi menyapukan batu Kencono Sukmo ke sekujur tubuh mayat Jatilegowo lalu meletakkan batu tepat di atas dada. Laki-laki berjanggut kelabu itu lalu duduk bersila dan mulut berkomat-komat membaca lafat mantera. Kilat menyambar-nyambar di atas langit. Hujan deras turun seakan ditumpahkan dari atas langit. Usai membaca lafas mantera pada hitungan ke sepuluhribu kali mendadak satu kilat menyambar turun menghantam tubuh mayat Jatilegowo disertai suara menggelegar dahsyat. Sosok Rawallangi terpental ke belakang hingga berguling-guling. Meski tak mengalami cidera, dengan dada berdebar dan telinga sakit ia berusaha bangkit sembari menatap ke arah batu datar. Asap hitam mengepul. Sosok mayat hitam hangus Jatilegowo bergerak-gerak. Mula-mula sepasang tangan, diikuti anggota tubuh lainnya. Luka-luka yang ada ditubuh Jatilegowo mengatup secara aneh disusul terdengar suara erangan. 

Rawallangi memberanikan diri untuk mendekat. Sosok Jatilegowo duduk di atas batu lalu menoleh ke arahnya dengan sepasang bola mata berwarna kelabu. 

"Siapa kau?! Siapa yang telah membangkitkan aku dari kematian?" 

"Aku yang membangkitkanmu wahai Adipati Jatilegowo, atas perintah mahluk dari negeri seribu dua ratus tahun silam bernama Lamanyala. Berterimakasihlah padanya karena memberikan kehidupan kedua untukmu!"

Jatilegowo tegak berdiri, lalu menatap kedua telapak tangannya. "Dimana senjataku, dimana Badik Sumpah Darah? Aku harus membunuh Wiro Sableng!" 

"Ketahuilah Jatilegowo. Kau kini memiliki kesaktian lain yang bersumber dari halilintar. Kau bisa membunuh pendekar 212 tanpa perlu menggunakan senjata!" Tukas Rawallangi. 

Jatilegowo angkat tangan kanannya, membuka telapak tangan lebar-lebar ke arah sebongkah batu besar. Selarik sinar putih menyerupai petir berkiblat saat itu juga menghantam batu besar hingga meledak hancur berkeping-keping. Jatilegowo menyeringai, tanpa memperdulikan Rawallangi ia lalu berjalan menuruni puncak bukit Batu Hijau sementara hujan makin menggila ditingkahi angin kencang laksana badai dan petir yang menyambar-nyambar di atas langit.


Bagian 2


Setelah kematian Tuanku Laras Muko Balang, diceritakan dalam episode 'Kupu-kupu Mata Dewa', Wiro akhirnya memutuskan kembali ke tanah Jawa mengingat ada beberapa urusan besar yang belum selesai dalam dunia persilatan. 

Di tengah jalan sebelum berpisah dengan si Kamba Mancuang,  Wiro sempat menyampaikan pesan kepada nenek sakti bergigi perak tersebut untuk mencari tiga buah jambak beralur tujuh. Menurut keterangan tokoh sakti pulau Andalas Tua Gila bahwa sebenarnya si nenek adalah penjelmaan gadis cantik jelita asal dapat menemukan tiga buah jambak beralur tujuh.

"Wiro, sebenarnya aku ingin ikut bersamamu menyeberang ke tanah Jawa, perihal urusan buah jambak seperti yang dikatakan Tua Gila aku tidak perduli, aku bisa menemukannya kelak dilain waktu." Ucap si nenek saat mereka berdua tiba di sebuah pantai dengan pasir putih di sepanjang tepian. Pendekar 212 garuk-garuk kepala lalu menatap laut lepas. 

"Aku tidak mempermasalahkan jika kau ikut denganku nek, tapi apakah engkau tidak ingin menemui gurumu terlebih dahulu si Inyek Susu Tigo. Aku dengar ia tengah mengejar Denok Tuba Biru untuk menjadikannya sebagai istri."

Si Kamba Mancuang gelengkan kepalanya. "Urusanku di negeri ini telah selesai. Aku ingin melihat-lihat tanah Jawa, aku tahu di seberang sana tentulah banyak gadis-gadis cantik yang menunggumu dan mereka pasti cemburu jika melihat engkau berjalan bersamaku." Tukas si nenek lalu tertawa bergelak memperlihatkan deretan gigi peraknya sembari kedipkan mata. Wiro pencongkan mulutnya hendak menjawab tapi belum lagi suaranya keluar mendadak satu suara keras menyahuti dari arah bibir pantai.

"Pendekar 212, dicari kemana-mana susah bertemu, ternyata tengah berdua-duaan dengan nenek sinting bergigi palsu, apakah di negeri Andalas ini sudah kehabisan perempuan cantik untuk kau dekati!"

Wiro Sableng dan Si Kamba Mancuang sama-sama menoleh ke asal suara. Dari arah laut melesat sebuah perahu ditumpangi dua sosok berpakaian hitam, satu diantaranya memiliki kumis dan janggut kelabu, sementara lelaki satunya memiliki perawakan besar dengan tubuh hitam hangus menebarkan bau busuk menyengat. Belum lagi perahu merapat ke tepian, keduanya melompat ke atas air lalu menjejak ke atas permukaan laut tanpa tenggelam sedikitpun pertanda keduanya memiliki kemampuan meringankan tubuh yang tinggi. 

Wiro kernyitkan kening. Si kamba Mancuang pegang lengan si pemuda seraya berbisik. "Mereka berdua apakah engkau mengenali? Salah satu dari mereka sepertinya bukan manusia biasa. Aku merasakan ada yang tak beres."

"Entahlah nek, aku tidak mengenal mereka, tapi aku rasa-rasa mengenal salah satunya. Lelaki di sebelah belakang bertubuh hitam hangus. Tetapi tidak mungkin?"

"Wiro Sableng, aku Rawallangi. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya, tetapi aku mengemban tugas untuk mencari dan membunuhmu! Apakah kau masih mengenali siapa yang ikut bersamaku ini?"

Pendekar 212 tajamkan penglihatannya. Mencoba mengingat sesuatu, saat ia menyadari pemuda itu nyaris berteriak kagek. "Adipati Jatilegowo! Gila, bagaimana mungkin? Bukankah manusia jahat satu itu sudah menemui ajal beberapa waktu lalu?"

(Mengenai riwayat Adipati Jatilegowo, harap baca serial Wiro Sableng dalam rangkaian episode Badik Sumpah Darah hingga Kutukan Sang Badik) 

"Wiro.. Sableng.. A..aku akan mem ..bunuh..mu!" Jatilegowo menjejakkan sepasang kakinya ke atas pasir pantai dengan suara berat dan putus-putus. 

"Bagaimana engkau bisa hidup lagi? Siapa yang menghidupkanmu kembali?!" Wiro lantas berlaku waspada. "Nek, mereka berdua bukan manusia baik-baik, harap berhati-hati." Bisik Wiro. 

"Aku tidak takut, biar aku yang menghadapi manusia berjanggut kelabu bernama Rawallangi itu!" Tukas si nenek bergigi perak. 

"Rawallangi, menurut keteranganmu, kalian berdua mengemban tugas dari seseorang untuk menghabisiku. Siapakah orangnya?"

Rawallangi tertawa bergelak. "Kami mengemban tugas dari malaikat maut untuk mencabut nyawamu!" 

"Edan!"

Jatilegowo keluarkan suara menggembor aneh, sepasang tangannya mengeluarkan kilatan cahaya putih. Di dahului teriakan menggidikkan laki-laki itu pukulkan sepasang tangannya. Dua cahaya putih laksana halilintar berkiblat. Pendekar 212 lekas mendorong Kamba Mancuang disampingnya lalu dia sendiri menghindar dengan jatuhkan tubuh sama rata dengan pasir pantai. Hawa panas menghampar saat dua cahaya pukulan lewat dan melabrak gundukan batu karang di tepian pantai hingga hancur berantakan. Asap dan debu pantai berterbangan di udara. Disaat bersamaan, dari atas langit mendadak muncul turun sesosok mahluk penuh kobaran api lalu hantamkan dua larik kobaran api berwarna biru ke arah pendekar 212 yang tengah tengkurap di atas pasir. 

"Wiro, awas! Ada serangan dari atas!" Teriak Kamba Mancuang mengingatkan. Disaat yang bersamaan sepasang tangannya memanjang secara aneh lalu mencengkram leher pakaian Wiro untuk kemudian menariknya. Dua jalur api biru menghantam pasir hingga berlobang hangus. Debu dan pasir kembali berterbangan di udara.


Bagian 3


"Pendekar 212, dahulu mungkin aku tak sanggup membunuhmu, wahai, hari ini jangan harap kau bisa lolos dari kematian!" Sosok penuh kobaran api melayang turun lalu berdiri di dekat Rawallangi dan Jatilegowo.

Wiro bergerak bangkit. 

"Lamanyala! Mahluk salah kaprah mengaku utusan para dewa, apa kau tidak ingin tubuhmu kubuat berlobang di sebelah kanan biar putus sekalian!"

Lamanyala mendengus. "Kau boleh sesumbar, tapi apa kau bisa mengalahkan Jatilegowo musuh besarmu dengan kesaktian halilintarnya?"

"Pasti kau yang punya pekerjaan, jangan menyesal jika kukirim rohmu kembali ke Latanahsilam agar tidak membuat keributan disini. Biar para dewa di negeri asalmu dapat menggantung rohmu di antara langit dan bumi!"

"Jahanam! Jatilegowo, Rawallangi lekas lakukan tugas kalian, bunuh mereka berdua!" Lamanyala semburkan satu jalur kobaran api dahsyat ke arah pendekar 212, sementara disebelahnya Jatilegowo lepaskan dua pukulan sakti yang bersumber dari halilintar. Sepasang kilat menyambar ganas.

Wiro yang sedari tadi telah berlaku waspada segera tekuk lututnya, lengan sebatas siku berubah putih keperakan, tangan sebelah kiri menyiapkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang, salah satu pukulan sakti yang bersumber pada kitab putih Wasiat Dewa. Selarik sinar putih menyilaukan berkiblat. Disusul angin kencang laksana topan prahara memggebubu.

"Bummm!" Dua letusan menggema di udara. Tubuh pendekar 212 terduduk nyaris terjengkang ke belakang, sebagian lengan bajunya hangus, dada sesak dan telapak tangan terasa panas bukan kepalang. Jatilegowo yang tak mengalami cidera apapun menggembor kembali lancarkan serangan mengandalkan kesaktian petir yang didapatnya setelah dibangkitkan oleh mustika Batu Kencono Sukmo beberapa waktu yang lalu. Lamanyala mengernyit kesakitan menyadari bentrok tenaga dalam barusan telah membuatnya terluka dalam.

Di tempat lain, Rawallangi mendatangi si Kamba Mancuang. "Nenek bergigi perak, aku tahu wujud aslimu sebenarnya adalah gadis cantik jelita, ikut aku maka akan kukembalikan wujudmu dengan satu syarat kau mau menjadi gendakku!" Rawallangi tertawa bergelak.

"Tua bangka bermulut kotor, makan tanganku!" Sepasang tangan Kamba Mancuang mencuat memanjang lalu melibas tubuh Rawallangi. Lelaki berjanggut kelabu itu kertakkan rahang dengan satu gerakan ia mencoba lepaskan satu pukulan sakti bernama 'Memapas Bukit Mengeruk Kerak Neraka!' Dengan kesaktian ini sisi telapak tangan seakan menjelma pedang tajam siap memutus sepasang tangan si Nenek bergigi perak, sementara lengan satunya dikemplangkan ke atas batok kepala Kamba Mancuang. Nenek sakti yang merupakan murid Inyiek Susu Tigo buka mulutmya lebar-lebar. Dari gigi-gigi peraknya menyembur serangkum cahaya putih! Itulah salah satu kesaktian bernama 'Angin Merapi Merambah Bumi' milik si nenek. Siapapun lawan jika terkena pukulan tersebut akan hangus tak bersisa.

Rawallangi tersurut mundur, sepasang lengan memanjang terus mengejarnya, dengan nekat ia memapas lengan si Kamba Mancuang terlebih dahulu dengan pukulan Memapas Bukit Mengeruk Kerak Bumi secepat kilat. "Nenek keparat, putus tanganmu!"

Nenek Kamba Mancuang tarik kedua tangannya, serangkum cahaya pukulan 'Angin Merapi Merambah Bumi' tahu-tahu menyembur telak. Rawallangi meraung setinggi langit. Sebagian wajah dan dadanya hangus. Tubuhnya mencelat mental lalu jatuh ke dalam air laut.

Dalam beberapa jurus Jatilegowo mulai mendesak Pendekar 212. Selain karena tubuhnya memiliki kekebalan aneh sehingga tiap pukulan tak berarti apa-apa baginya, pukulan halilintar yang dilepaskan juga membuat repot Wiro. Disaat bersamaan Lamanyala juga turut menyerbu dengan larikan-larikan api yang menyembur dari tubuhnya.

Ketika salah satu pukulan nyaris mengenainya, mendadak satu suara mengiang ditelinganya entah darimana asalnya. "Pendekar 212, ilmu yang bersumber dari api jangan dilawan dengan api." Wiro tersentak sadar, ia menatap sekeliling tapi tak mengetahui asal suara. Saat itu Lamanyala dan Jatilegowo menyergap maju masing-masing melepaskan dua pukulan berupa dua jalur api biru dan sepasang cahaya putih menyerupai petir ke arah Wiro.

Murid eyang Sinto Gendeng ini lantas merapal mantera, sepasang tangan diputar-putar di atas kepala. Terjadilah keanehan. Udara mendadak terasa dingin, makin lama hawa dingin semakin memuncak, suasana di tepian pantai dimana mereka berada seakan diserang badai salju hebat. Dua jalur api yang dilepaskan Lamanyala meredup padam, disusul kobaran api yang menyelimuti tubuhnya padam laksana disiram air. Mahluk dari negeri Latanahsilam itu mencoba bertahan tapi terlambat, tubuhnya yang semula dikobari api kini kaku tegang seakan menjadi es, uap putih mengepul dari sekujur tubuhnya disusul darah keluar dari kelopak.mata, hidung, telinga dan mulutnya. Mahluk ini keluarkan erangan pendek lalu tak bergerak lagi.

Jatilegowo yang melepaskan pukulan halilintar juga mengalami nasib serupa. Sebelum dua pukulannya datang, dua gelombang angin dingin membungkus dua cahaya pukulan hingga meredup dan pecah bertaburan di udara. Seperti yang dialami Lamanyala, tubuh besar Jatilegowo juga dari ujung kaki hingga atas kepala mengepul uap dingin seolah diselimuti es. Tak mampu bergerak.

Wiro yang telah melepaskan ilmu Angin Es segera tiup telapak tangan kanannya. Mendadak di telapak tangannya muncul gambar kepala harimau. Sayup-sayup dikejauhan terdengar suara auman harimau menggelegar. Dengan satu teriakan nyaring, telapak tangan dihantamkan ke arah kepala Jatilegowo.

"Praakkk!" Kepala Jatilegowo hancur. Darah hitam muncrat disusul jeritan aneh. Terjadi hal mengerikan, tubuh Jatilegowo mendadak berderak hancur merambat ke sekujur tubuhnya. Lalu asap hitam membumbung disaat bersamaan hancurnya tubuh Jatilegowo yang mengalami kematian menggenaskan untuk kedua kalinya.

"Wiro! Kemana mahluk berapi satunya?" Tiba-tiba terdengar teriakan Si Kamba Mancuang. Wiro menyadari sesuatu, mereka berdua menatap ke sekeliling ke arah dataran pantai, tapi sosok tubuh Lamanyala yang semula

Membeku akibat ilmu Angin Es lenyap seakan ditelan bumi.

"Ada yang membawa lari mahluk Latanahsilam itu! Sial, kita sama sekali tak menyadarinya." Tukas Wiro sambil bantingkan kaki kanannya hingga melesak hingga mata kaki ke dalam pasir.

"Setidaknya saat ini kita selamat. Wiro, ilmu apa yang barusan kau keluarkan, kenapa udara mendadak jadi dingin begini rupa?" Hardik Kamba Mancuang, nenek bergigi perak tekap bawah perutnya sambil gigi bergemelatuk. "Gila aku tak tahan mau kencing!" Si nenek lantas menghambur berlari ke arah gugusan batu karang tak jauh dari mereka berdua berdiri.

Wiro garuk-garuk kepalanya lalu tertawa bergelak begitu menyadari pengaruh ilmu Angin Es yang dilepaskannya tadi belum begitu hilang. "Nek jangan lupa cebok ya pake pasir!" Teriak Wiro.

Dari balik batu karang Nenek Kamba Mancuang tak tahan lagi angkat jubah hitamnya lalu beser saat itu juga sembari mengomel panjang pendek!

TAMAT

Dengan menggunakan perahu yang sebelumnya dipakai oleh Rawallangi dan Jatilegowo, Wiro dan nenek Kamba Mancuang lalu memutuskan meninggalkan bibir pantai menuju laut lepas. Wiro sendiri lupa untuk mencari tahu siapa yang tadi telah mengirim bisikan agar ilmu api jangan dilawan dengan api.

Sesaat saja, perahu yang mereka tumpangi melaju cepat membelah ombak, lalu makin menjauh dari tepian pantai. Tanpa mereka sadari, di salah satu batu karang tak jauh dari pantai duduk bersila seorang laki-laki tua mengenakan jubah hitam dari kulit kayu. Kumis dan janggut putih menjela, mata, hidung dan mulutnya sama rata dengan muka. Jika diperhatikan dengan seksama ternyata tubuh si kakek mengapung satu setengah jengkal di atas batu karang pertanda dirinya memiliki tenaga dalam tinggi. Sepasang mata menatap ke arah perahu yang dinaiki Wiro dan Kamba Mancuang. Bibirnya tersenyum. Sesaat kemudian, tubuhnya menjelma serupa asap lalu lenyap bagai di telan angin.

Sumber : WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Buku Lainnya


Komentar :