PENGHUNI HUTAN MISTERI

PENGHUNI HUTAN MISTERI


Bab 1
---
Siang sangat terik, tetapi suasana dihutan itu begitu sejuk dan redup. Hal itu disebabkan hutan itu masih asri penuh dengan pepohonan besar dan jarang dimasuki manusia, daun dan ranting pepohonan itulah yang membuat suasana di hutan itu tampak redup karena menghalangi sinar matahari. Tiba-tiba di hutan yang senantiasa diselimuti kesunyian itu terdengar satu suara siulan melengking memekakkan telinga, terkadang dibunyikan rendah dan datar namun terkadang suara siulan itu berubah melengking dan menggema ke delapan penjuru hutan hingga membuat sebagian binatang-binatang penghuni hutan terkejut. Burung-burung berterbangan, tupai-tupai berlari terbirit-birit, sedangkan monyet-monyet hutan menjadi riuh melompat kabur dari satu cabang pohon ke cabang pohon lain.
"Sialan! Bisa-bisanya aku tersesat ke hutan aneh seperti ini! Pohonnya besar-besar pula. Pasti banyak demit penunggunya!" Meski merinding namun orang yang barusan bicara tadi malah tertawa gelak-gelak sambil garuk-garuk kepala.
Dia ternyata seorang pemuda berparas cakap berambut gondrong dan memakai pakaian serba putih. Di keningnya melintang ikat kepala kain putih, sedangkan di dadanya terdapat rajah bertuliskan 212. Dari ciri-cirinya nyata sudah bahwa dia jelas Wiro Sableng Pendekar 212. Pendekar ternama ini sedang kena apes salah jalan memasuki hutan tanpa nama.
Saat itu pula terdengar suara kriukan dari dalam perutnya pertanda minta diisi.
"Dasar cacing sialan! Aku juga lapar! Ya sudah lebih baik aku terus ke dalam hutan, siapa tahu ada binatang buruan atau setidaknya ada buah-buahan yang bisa ku makan"
Pemuda tangkas namun usil itu akhirnya ringankan langkah masuk semakin dalam ke tengah hutan. Kira-kira tiga kali penanakan nasi Wiro berjalan, tak satupun dia melihat binatang buruan yang bisa dimakan, buah-buahan ada namun dia tak mengenal jenis buah itu hingga membuat Pendekar 212 tidak berani untuk memakannya. Akhirnya setelah hampir kelelahan karena begitu jauh berjalan Wiro dibuat tercengang, karena kini dihadapannya terhampar rapi barisan pohon-pohon jambu Klutuk yang berbuah lebat dengan buah-buahnya yang ranum menggugah liur bergantungan.
"Apa boleh buat, agaknya jambu itulah rejekiku di hutan ini" seperti monyet rakus kelaparan, dengan sekali melompat Wiro sampai di satu pohon jambu, sekali kaki digenjot maka tubuhnya pun telah melesat ke salah satu dahan pohon dan tangannya dengan cepat menyambar sebuah jambu Klutuk yang matang.
"Krutuk, krutuk" Sepasang mata Wiro membulat berbinar-binar karena takjub akan rasa jambu Klutuk yang barusan dikunyahnya.
"Edan! Jambu apa ini? Kenapa lebih manis dan lebih nikmat dari jambu yang pernah aku makan?" Karena rasa jambu yang begitu menyegarkan maka Wiro segera saja mengunyahnya dengan lahap dan tanpa ragu-ragu. Satu jambu, dua jambu, tiga dan akhirnya tujuh buah jambu telah ludes ke dalam perutnya saat dia memetik jambu biji kedelapan, tiba-tiba terdengar satu suara bentakan garang yang menggema mengagetkan.
Jambu yang ada ditangan Wiro terlepas karena terkejut.
"Kurang ajar! Monyet jelek dari mana yang berani mencuri jambu orang!" Suara itu terdengar lantang dan melengking, suara perempuan.
Dan Wuss, telinga Wiro yang tajam mendengar suara sesuatu yang mendesing di udara mengarah padanya. Wiro cepat melompat ke cabang lain. Hingga benda yang tadi melesat ke arahnya berhasil dielakkan. Sebuah jambu biji ternyata yang agaknya dilemparkan dengan aliran tenaga dalam cukup tinggi, daun-daun yang diterabas jambu itu berguguran dan tatkala jambu itu menghantam satu cabang pohon, terasa pohon bergoncang cukup keras.
"Turun monyet jelek!" Terdengar suara perempuan kembali membentak. Lagi-lagi terdengar suara mendesing membelah udara, mata Wiro yang tajam bisa melihat ada lima buah jambu biji sekaligus yang melayang ke arahnya. Dengan sekali lompatan Wiro berhasil mengelak dari tiga sambaran jambu yang mengarah ke kaki dan paha. Satu jambu berhasil ditendangnya dengan menggunakan telapak kasut hingga mental dan hancur sedangkan satu lagi berhasil ditangkap dengan tangan kanan.
Wiro akhirnya melompat turun dari pohon dimana dia berada sambil mengunyah jambu yang barusan ditangkapnya.
Begitu kakinya menjejak ke tanah pemuda sableng ini langsung tertawa-tawa.
Namun tawanya segera lenyap tatkala matanya membentur sesosok wanita yang menatap galak kepadanya sambil berkacak pinggang.
"Plukk" jambu biji dimulut Wiro terjatuh karena terkesima melihat sosok di depannya itu. Seorang gadis cantik jelita dengan wajah menatap garang, rambutnya hitam panjang dan dikuncir kuda serta dihiasi rangkaian daun-daun hijau segar, memakai pakaian serba hijau tua. Meski wajah itu unjukkan sikap galak namun kecantikannya benar-benar tak terbantahkan. Sepasang mata Wiro turun naik memandangi dengan takjub sosok gadis itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Apa lihat-lihat?!" Bentak gadis itu galak.
Wiro cuma cengengesan, namun saat itulah sepasang matanya membentur ke leher si gadis dimana ada sebuah kalung terpasang. Kalung itu aneh karena bertahtakan jambu-jambu biji. Melihat keganjilan kalung si gadis karuan saja Wiro kembali tertawa gelak-gelak.
Gadis cantik baju hijau itu merasa terhina ditertawakan tanpa tahu apa yang lucu, si gadis arahkan satu tangannya ke satu pohon jambu, sreett sreeet, luar biasa, sepuluh buah jambu biji melesat lepas dari ranting dan terbang melayang menuju tangan si gadis, kini sepuluh jambu itu melayang-layang membentuk lingkaran diatas telapak tangan kanannya.
"Eh hebat juga gadis satu ini! Pasti pemain sulap!" Lagi-lagi Wiro tertawa terbahak-bahak.
Gadis Kalung Jambu tak dapat lagi meredam marahnya.
"Sudah mencuri, menghina pula! Mampuslah!" Si gadis sentakkan tangan kanannya, sepuluh buah jambu biji yang melayang-layang langsung melesat menuju ke arah Wiro, lebih tepatnya ke mulut.
"Rontok gigimu!" Ucap si Gadis yakin karena jambu biji yang masih keras itu pasti salah satunya berhasil menghantam mulut pemuda yang masih terus tertawa-tawa itu.
"Oalah, seumur hidup baru kali ini diserang pakai jambu" sambil berhaha hihi dengan gerakan Ilmu Silat Orang Gila Wiro berhasil menghindar dari sepuluh jambu biji itu.
Si Gadis menjadi geram, dia mulai terpancing amarah, kedua tangan langsung direntangkan, tiba-tiba angin bertiup kencang dan wussss dari beberapa pohon jambu, bermelesatan puluhan bahkan ratusan jambu-jambu biji yang langsung menyerbu ke arah Wiro.
Wiro kini tak dapat tertawa lagi, matanya yang jeli dapat menebak bahwa ratusan jambu itu telah dialiri tenaga dalam tinggi, meski hanyalah jambu biji, namun serangannya tak ubahnya seperti lemparan senjata rahasia.
"Edan, bagaimana bisa aku menghindari semua jambu-jambu sialan ini!" Tak ada pilihan, Wiro segera lepaskan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera dua kali berturut-turut.
Dua ledakan besar terdengar dahsyat, pohon-pohon jambu berguncangan. Serangan ratusan jambu tertahan dan mental ke atas dan langsung jatuh luruh kebawah laksana curahan hujan dalam keadaan hancur remuk cerai berai. Wiro pergunakan kedua tangannya guna menutupi kepala agar tidak sampai ketimpuk kejatuhan jambu.
Adapun gadis baju hijau tadi tampak berlutut sambil pegangi dadanya yang sesak. Nyata sudah gadis ini mengalami luka dalam ringan.
Hujan jambu biji telah berakhir, setelah usap-usap bajunya Wiro pun melangkah mendekati si gadis buat menolong.
"Jangan mendekat!" Bentak si Gadis, dengan sedikit terhuyung dia bangkit tegak berdiri sambil menahan nyeri.
"Saudari, harap dimaafkan! Aku akui aku salah karena memakan jambu biji milikmu tanpa permisi!" Wiro mengalah dan mengakui kesalahan sambil ulurkan tangan untuk berjabat tangan yang sialnya malah ditepis oleh si gadis.
Meski sekejap, namun lewat tepisan tadi Wiro dapat merasakan betapa mulus dan halusnya tangan si gadis.
"Ku harap kau jangan marah-marah dulu. Aku tersesat ke hutan ini, kebetulan aku juga sedang kelaparan hingga akhirnya mengambil beberapa buah jambu biji di kebunmu itu! Harap kau ikhlas memaafkan!"
"Ikhlas katamu! Jambu Klutuk milikku itu tak sembarangan orang boleh makan, bahkan oleh seorang raja sekalipun, apalagi monyet jelek pencuri sepertimu!" Cerca dan caci Gadis baju hijau.
"Ah masak? Apa iya aku sejelek itu?" Wiro berucap sambil usap-usap rambutnya buat bergaya yang karuan saja membuat si gadis semakin sewot.
"Jangan marah-marah, nanti cantiknya hilang! Ayo, berapa aku harus membayar ganti rugi jambu itu?" Tawar Wiro ingin membeli jambu si gadis.
"Aku tidak butuh duitmu!" Keras si gadis.
"Jadi butuhnya apa? Aku hanya punya uang dan juga cinta... Hahahaha apa kau mau dibayar pakai cinta?" Wiro kembali gelak-gelak.
"Kurang ajar!" Si gadis tiba-tiba langsung hantamkan satu tinjuan keras ke pertengahan dada Wiro. Begitu cepat dan tak terduga hingga Wiro tak sempat mengelak.
Wiro terpental ke belakang menerima tinjuan mendadak itu, meski tak mengalami luka dalam namun tetap saja rasanya menyakitkan.
Gadis Kalung Jambu kembali akan menyerang namun tiba-tiba angin kembali bertiup kencang membawa daun-daun gugur berterbangan. Bau harum semerbak tiba-tiba tercium. Bau harum yang enak dan melegakan nafas. Wiro terperangah tatkala merasakan rasa sakit tinjuan Gadis Kalung Jambu tadi sirna tanpa bekas.
"Hebat, harum itu bisa mengobati rasa sakit, pasti bau itu berasal dari seseorang yang sakti" Wiro berdiri tegak sambil tetap waspada. Siapa tahu itu adalah lawan, meski bau harumnya menolong mengobatinya tadi.
Angin semakin kencang bertiup hingga membuat pakaian Wiro berkobar-kobar, pun begitu dengan pakaian hijau Gadis Kalung Jambu.
Daun-daun yang terbawa angin tiba-tiba menggumpal membentuk bola raksasa di hadapan Gadis Jambu Biji. Ketika angin kencang itu reda dan hilang, maka bola raksasa dari daun itupun pecah berhamburan, lagi-lagi daun berterbangan. Dan kini dengan pandangan mata dihalangi hujan daun Wiro menyaksikan ada seseorang berdiri di sebelah Gadis Kalung Jambu, seorang perempuan lain berbaju hijau muda. Wajahnya tidak terlihat karena berdirinya memunggungi Wiro.
"Sudahlah adikku, ikhlaskan jambu-jambu mustikamu yang sudah dimakan pemuda itu. Biarkan dia pergi!" Bunyi si baju hijau muda yang barusan muncul. Dari tubuhnyalah menyeruak harum yang melegakan nafas tadi.
"Siapa gadis yang muncul itu? Sial, aku tidak dapat melihat wajahnya, apa jangan-jangan mereka jelmaan dedemit hutan, hiii" ujar Wiro dalam hati sambil bergidik ngeri, serta merta sepasang mata melihat ke tanah tempat dua gadis itu berpijak.
"Laki-laki muda, aku tau apa yang kau pikirkan. Jangan kau menduga yang tidak-tidak! Aku dan adikku juga manusia, bukan setan!" Tegur si gadis baju hijau.
"Eh buset, bagaimana dia bisa tahu? Jangan-jangan gadis itu punya kesaktian membaca pikiran" kejut Wiro bukan seolah-olah.
Dan lagi-lagi si gadis baju hijau muda bersuara, "Kesaktian manusia hanyalah ibarat sebutir pasir di gurun luas, hanya ilmu Yang Maha Kuasa yang tak terbatas dan tak terjangkau satu makhluk manapun. Pemuda baju putih, kami mengikhlaskan jambu biji yang telah kau makan itu, sekarang silahkan cepat tinggalkan hutan ini!"
Selesai berbicara gadis baju hijau muda itu pun berbalik badan menghadap Wiro, maka Wiro pun terperangah seolah tersihir oleh sejuta pikat.
Gadis itu ternyata memiliki kecantikan yang luar biasa. Rambut hitam panjang tergerai dihiasi oleh bunga-bunga. Wajah bundar telur, dengan hidung mancung dan bibir merah delima yang siap merekahkan senyuman semanis madu. Yang membuat sosok gadis ini semakin luar biasa ialah sepasang matanya yang berwarna kehijauan, sepasang mata itu tak ubahnya seperti kilau Jamrud di tengah gumpalan salju.
"Bidadarikah yang satu ini? Kenapa kecantikannya begitu sempurna?" Mau tak mau Wiro pun membatin memuji.
"Terima kasih atas pujianmu itu saudara namun seperti kataku tadi aku hanyalah manusia biasa, bukan bidadari, sama sepertimu. Berhentilah memandangiku dengan tatapan mata seperti itu, kecantikan itu bisa menjadi satu anugrah dan bisa pula menjadi satu ujian pengundang musibah" tegur si gadis, suaranya merdu dan sejuk didengar, tentu berbeda dari Gadis Kalung Hijau, adiknya yang selalu ketus.
Wiro pun tersadar dari rasa kagumnya, walau tetap saja hatinya terus menerus memuji.
"Anu..." Wiro garuk-garuk kepala, bingung mau bilang apa karena si Gadis Mata Hijau itu jelas-jelas dapat membaca pikirannya.
"Anu mu kenapa? Jangan kurang ajar apalagi berpikir macam-macam! Perlu kau tahu, kakakku ini sangat hebat, sekalipun kau berlatih silat seratus tahun, kau tak akan mampu mengalahkannya" ketus Gadis Kalung Jambu.
"Adik, sudah hentikan sifat mudah marahmu itu" tegur sang kakak, gadis bermata hijau.
"Anu, aku ingin mengucapkan maaf sekaligus terima kasih atas kesudian kalian merelakan jambu yang telah ku makan, kalau boleh tahu dengan siapakah aku berhadapan?"
"Alasanmu saja buat tahu nama kami!" Galak si Kalung Jambu.
Wiro cengengesan, karena tuduhan itu ada benarnya.
"Orang bertanya tak ada salahnya, baiklah biar kami memperkenalkan diri, adikku ini bernama..." Belum sempat si Mata Hijau menyebutkan, si Kalung Jambu sudah menimpali ucapan.
"Namaku Luhjambuklutuk!" Ketusnya.
Mendengar nama aneh itu karuan saja Wiro menjadi tertawa gelak-gelak. Sehingga lagi-lagi si Gadis Kalung Jambu cemberut hingga hentak-hentakkan kaki ke tanah. Kalau saja tidak ada sang kakak sudah pasti dia akan menghajar si pemuda tukang tertawa itu.
"Maaf, maaf! Baru kali ini aku bertemu orang dengan nama buah-buahan..." Wiro bermaksud ingin menggoda lagi, namun si Mata Hijau yang dapat menebak pikiran seseorang itu tahu niat Wiro hingga cepat-cepat berkata untuk memperbaiki suasana hati sang adik.
"Nama asli adikku Luhcandrika. Kau bisa memanggilnya Candri.."
"Aku lebih suka kau panggil Luhjambu.." sewot sang adik.
"Baik baik, Luhjambu juga nama yang indah, jauh lebih sedap di dengar daripada Luhjamban" dasar usil Wiro terus saja menggoda.
"Sialan!" Gadis berkalung jambu bernama Luhcandrika itu siap menempeleng. Namun sang kakak cepat mencegah.
"Sudahlah, aku pusing berbicara dengan pencuri gila sepertinya, lebih baik aku pulang saja" Luhcandrika setelah hentakkan kaki segera melangkah pergi.
Sang kakak pun melangkah menyusul.
"Tunggu saudari! Kau belum memberitahu siapa namamu?" Wiro benar-benar ingin tahu nama gadis bermata hijau itu.
Gadis yang dipanggil pun hentikan langkah guna menjawab, "Orang-orang di negeri ini memanggilku dengan julukan Putri Harum Hutan, namun nama asliku adalah Luharum Paramastri"
"Luharum Paramastri, nama yang indah, memiliki arti Harum Bidadari, sangat pantas disematkan untuknya" lagi-lagi Wiro memuji dalam hati. Tiba-tiba Wiro terkesiap tatkala ingat sesuatu.
"Apakah kau dan adikmu berasal dari Latanahsilam? Hanya gadis-gadis dari negeri itu yang selalu memakai awalan nama Luh?"
Gadis yang bernama Luharum itu tidak menjawab, bibirnya hanya melemparkan senyum yang lagi-lagi membuat hati Wiro berdetak-detak.
"Saat ini aku belum bisa menjawabnya, mungkin dilain waktu jika kita bertemu kembali baru akan ku jawab pertanyaanmu itu. Aku sudah tahu siapa dirimu, namamu Wiro kan? Pemuda yang dijuluki sebagai Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Kau tersesat ke hutan ini saat sedang dalam perjalanan menuju Negeri Seribu Sungai, iya kan?"
Wiro terpana, "Siapa gadis ini sebenarnya? Kenapa bisa tahu siapa diriku padahal ini adalah pertemuan pertama kami. Mungkinkah ilmu kesaktiannya membuatnya bisa mengenali orang hanya dengan sekali lihat? Dunia benar-benar luas, di atas langit masih ada langit" Wiro benar-benar kagum akan kemampuan Luharum yang dapat membaca pikiran dan mengenali dirinya. Wiro merasa bahwa ilmunya sekarang meski sudah benar-benar tinggi namun masih banyak kekurangan . Dia harus lebih banyak belajar lagi.
Luharum buat gerakan mencabut hiasan bunga di kepalanya. Bunga itu berwarna kekuningan. Mulut si gadis meruncing meniup bunga di tangan. Bunga itu pun memancarkan sinar kuning bergemerlap laksana kelap-kelip bintang. Dan wusss, bunga itu pun melayang-layang di udara.
"Nah saudara Wiro ikutilah bungaku itu, dia akan menunjukkanmu jalan keluar dari hutan ini, bawalah beberapa buah jambu biji mustika itu sebagai bekalmu. Jika kau telah sampai ke tepi hutan, berjalanlah ke utara sampai menemukan satu sungai besar, pergilah ke hulu sungai kau akan sampai ke Negeri Seribu Sungai dalam waktu beberapa hari ke depan" Selesai berucap, Luharum langsung melesat, daya lesatnya ringan namun cepat, laksana kapas terbawa angin, yang luar biasanya ialah, tiap kali sang gadis menjejak tanah buat tolakkan tubuh melenting ke udara, maka di tanah bekas pijakannya itu langsung tumbuh satu tanaman aneh berbunga kuning.
Wiro memandangi kepergian si gadis dengan tatapan takjub, bau harum tubuhnya masih tertinggal disana.
"Luar biasa, baru kali ini aku bertemu seseorang dengan ilmu seaneh gadis itu. Cantik namun penuh misteri, mudah-mudahan aku bisa bertemu dengannya lagi"
Wiro petik tujuh buah jambu biji yang katanya buah mustika walau Wiro belum tahu khasiatnya apa untuk bekal di perjalanan. Saat itu dilihatnya bunga kuning yang bersinar gemerlap melayang-layang di udara mengitari kepala, lalu laksana kupu-kupu bunga itu pun terbang menunjukkan Wiro arah keluar dari hutan misterius itu. Wiro cepat mengikuti bunga itu sambil terus memikirkan kedua gadis yang baru dikenalnya tadi. Pertemuan singkat yang menimbulkan kesan tersendiri di lubuk hati sang pendekar.

Bab 2

Wiro berjalan merambasi hutan dengan mengikuti bunga kuning yang melayang-layang beberapa langkah di depan. Sudah hampir sependidihan air rebus namun belum juga tiba di tepi hutan. Meski berjalan dengan mata terus memperhatikan bunga sakti penunjuk jalan, namun hati Wiro sesekali masih teringat kepada dua gadis cantik yang tadi ditemuinya.
"Luhjambu..." Wiro mengekeh tatkala mengingat nama itu.
"Cantik, tapi galak. Bersenjatakan buah jambu, seumur-umur baru kali ini ada pendekar bersenjatakan buah. Kalau bunga sudah biasa tapi buah jambu? Hahahaha" Wiro akhirnya terpingkal-pingkal menghibur diri sendiri, dia jadi teringat pada Suci alias Bunga yang bersenjatakan kuntum bunga kenanga.
"Hemmm Bunga bersenjatakan kenanga, lalu gadis mata hijau itu meski belum melihat tapi agaknya juga punya senjata bunga yang menghiasi rambut indahnya itu" Wiro menatap bunga sakti milik Luh Arum yang menjadi penunjuk jalannya buat keluar dari hutan.
"Arum, rasanya lebih sedap dan indah buat diucap, jika kelak bertemu lagi akan aku panggil dia dengan nama itu. Matanya hijau, sama seperti milik Kunti Ambiri sebelum kutusuk paku emas, namun harus ku akui jika mata hijau milik Arum jauh lebih indah, dan bagaimana pula dengan mata biru milik Ratu Duyung?" Wiro jadi bingung sendiri membandingkan mata siapa yang lebih mempesona, apakah mata biru Ratu Duyung, atau mata hijau milik Arum.
Bahkan Wiro mulai pula membandingkan paras Arum dan Luhjambu dengan gadis-gadis cantik sahabatnya, Anggini, Puti Andini, Purnama, Pandansuri, Kunti Ambiri, Ayu Lestari, Ratu Duyung, dan terakhir Bidadari Angin Timur.
"Tidak-tidak! Bidadari lebih cantik, tapi rasanya Arum dan Luhjambu juga sama cantik bahkan ...? Sialan! Membandingkan kecantikan anak gadis orang saja sudah membuat kepalaku pusing, apalagi menikahinya!" Wiro kembali mengekeh.
"Luhcandrika dan Luh Arum Paramastri, aku yakin keduanya memang berasal dari Latanahsilam, tapi kenapa selama aku berpetualang ke negeri seribu dua ratus silam itu aku tak mendengar riwayat mereka. Ah andai Purnama atau Jatilandak ada disini mungkin aku bisa bertanya pada mereka. Atau mungkin saja Bunga tahu" saat itulah Wiro ingat sesuatu. Tangan kanan disisipkan ke balik baju untuk meraih sesuatu, tatkala tangan itu keluar kini di atas telapak tangannya ada sekuntum bunga kenanga segar dan tak akan pernah layu.
Wiro dekatkan bunga kenanga itu ke hidungnya, menghirup wanginya dengan penuh hikmat. "Bunga, datanglah, aku membutuhkanmu!"
Wiro mengulangi kalimatnya itu, namun aneh! Bunga tak kunjung muncul. Wiro mengulangi kalimat itu sekali lagi namun kali ini dengan mengerahkan tenaga dalam.
Terasa tanah tiba-tiba bergetar, Wiro merasa langkah kakinya memberat. Lapat-lapat Wiro mendengar suara jeritan perempuan, suara Bunga.
"Bunga! Kau kenapa?" Teriak Wiro.
Terdengar suara gemuruh, lalu ada sahutan Bunga menjawab.
"Aku tidak apa-apa Wiro, hanya saja aku kalah tenaga, aku kalah kekuatan, maafkan aku Wiro! Aku tak mampu menembus duniaku buat menemuimu, ada tabir kekuatan dahsyat yang menghalangiku!"
"Bunga, apa yang terjadi? Siapa yang melakukannya?" Teriak Wiro dengan hati cemas.
"Aku tak tahu Wiro, hanya saja aku mencium bau bunga mawar yang sangat santar bercampur amis darah. Berhati-hatilah Wiro, negeri yang kau kunjungi itu penuh dengan orang-orang berilmu aneh, untuk saat ini aku hanya dapat mendoakanmu. Aku akan menemui para sahabat lain buat membicarakan hal ini!"
Setelah itu sambung rasa sang pendekar dengan Dewi Bunga Mayat terputus. Wiro simpan kembali bunga kenanga sakti.
"Bau mawar? Apa hubungannya dengan masalah yang menimpaku?" Renung Wiro pula.
Dia pun jadi teringat alasan mengapa dia harus menyambangi Negeri Seribu Sungai yang masih serba asing ini. Semua berawal dari hari itu, hari dimana dia harus kehilangan senjata bertuah andalannya yang paling berharga, sama harganya seperti nyawa di badan, yakni Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua. Saat itu Wiro sedang iseng menghibur diri saat beristirahat di tengah perjalanan dengan meniup seruling di tangkai kapak sembari menunggu ubi bakarnya matang. Tiba-tiba Kapak Naga Geni laksana dibetot satu kekuatan ghaib yang luar biasa dahsyat, kapak itu lepas seolah dirampas makhluk tak terlihat lalu melesat menembus udara ke arah utara. Begitu cepatnya hingga hanya terlihat seperti kilatan putih yang terbang melayang di atas langit.
Sesuai petunjuk dari Kakek Segala Tahu, Wiro pun tahu bahwa senjatanya telah dirampas seseorang sakti dari negeri seberang, pulau besar di utara laut Jawa lewat ilmu mencuri benda jarak jauh. Ilmu langka dan luar biasa hebatnya.
Karena alasan itulah Wiro berkelana ke negeri ini dengan maksud ingin mencari senjata saktinya itu.
"Sampai sekarang aku masih belum tahu siapa yang mencuri senjataku itu! Hanya saja menurut petunjuk Kakek Segala Tahu, aku harus menemui seorang sahabat di negeri ini, Tuk Padi Bulau yang aku sendiri tidak tahu orangnya seperti apa" Wiro keluarkan satu kantong kain butut berisikan lima butir batu akik seukuran kerikil kecil yang harus diserahkan kepada Tuk Padi Bulau agar orang itu mau membantunya mencari keberadaan kapak. Kantong itu pemberian Kakek Segala Tahu.
Wiro terus berjalan mengikuti bunga kuning sakti, sudah sangat lama sekali dia berjalan hingga hari sepertinya mulai diambang senja, hal itu diketahuinya karena bias sinar mentari yang masuk menembus celah-celah daun mulai berwarna kekuningan.
"Di tanah Jawa banyak hutan, namun tidak serapat ini. Mirip seperti hutan-hutan di Pulau Andalas!"
Wiro akhirnya sadar ada sesuatu yang aneh terhadap dirinya, yakni setelah berjalan sekian lama dan cukup jauh namun tidak sedikitpun dia merasa lelah atau pegal kaki.
"Apa yang terjadi? Sudah sejauh ini aku berjalan tanpa istirahat namun tubuhku tetap bugar, jangan-jangan ini berkat khasiat buah jambu hutan itu"
Untuk membuktikan Wiro mulai gunakan ilmu Kaki Angin miliknya untuk mempercepat perjalanan, tubuhnya berkelebat diantara semak belukar, sesekali sosoknya melayang melewati rintangan-rintangan khas hutan yang menghadang, hebatnya seakan tahu bunga kuning sakti turut mempercepat terbangnya hingga bunga itu selalu berada di depan. Beruntung, berkat ilmu lari serta khasiat buah jambu biji pemberian Luh Arum Paramastri, Wiro berhasil lolos dari lebatnya hutan tepat saat mentari siap terbenam. Kini dia tegak di tepi hutan sambil hembuskan nafas lega.
"Terima kasih bunga sakti, kau menjalankan tugasmu dengan baik" Girang Wiro, dia bermaksud ingin meraih dan mencium bunga kuning yang masih mengambang berputar-putar di udara itu, namun sringgg bunga itu tiba-tiba pancarkan sinar kuning pekat lalu pecah menjadi butiran-butiran debu yang luruh ke tanah. Begitu butiran bubuk bunga itu menyentuh tanah maka bertumbuhanlah tanaman-tanaman aneh berbunga kuning. Wiro gosok-gosok dua matanya tak percaya dengan apa yang barusan dilihat olehnya. Dia ingat, tanaman serupa juga tumbuh dari bekas jejak kaki Luh Arum saat sedang mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang mengagumkan. Wiro memutuskan bermalam di tepi hutan itu, dengan segera dia mencari kayu kering untuk menyalakan api unggun.
"Aneh, sejauh ini perjalananku tapi aku tak merasakan capek ataupun lelah bahkan tak sedikitpun aku merasa haus apalagi lapar, andai saja kalau bukan karena hari telah malam, rasanya berjalan terus sekalipun sampai pagi aku masih sanggup" Gumam Wiro seorang diri sambil duduk menghangatkan tubuh di tepi api unggun. Sekarang barulah dia tahu khasiat buah jambu itu. Pantas saja Luhjambu dan Luh Arum menyebut buah itu sebagai buah mustika.
***
Esoknya pagi sekali Wiro bermaksud lanjutkan perjalanan menuju utara sesuai dengan petunjuk Arum. Namun sebelum itu, Wiro menuju ke bawah sebuah pohon besar karena kebelet buang air kecil, lalu enak saja pemuda berambut gondrong ini menurunkan celana dan semburkan air kencing begitu banyaknya. Saat itu pula tiba-tiba terdengar satu suara menimpali diikuti tawa cekikikan khas perempuan.
"Wahai adikku, kita bertemu pemuda kencing kuda ini lagi. Kali ini dia terkencing-kencing di bawah pohon. Wahai besar sekali..."
"Wahai kakakku, aku melihat bulu-bulu keriting kasar, mirip seperti bulu jagung" kembali suara tawa terdengar bersahutan.
Wiro terkejut, suara itu berasal dari atas pohon, Wiro cepat mendongak namun dari atas pohon menderu deras dua buah jambu biji yang dilempar dengan tenaga dalam.
Wiro berkelit mundur, karena kencingnya belum usai karuan saja pancuran air seninya itu berhamburan tak karuan membasahi kaki celana. Wiro memaki panjang pendek, cepat-cepat dia memasukkan lagi burung tekukurnya itu.
"Pasti Luhjambu!" Tuduh Wiro yang belum sempat melihat siapa orang yang melempar jambu tadi. Bukankah hanya Luhjambu alias Candrika yang menggunakan buah jambu untuk menyerang?
Sekonyong-konyong, dari atas pohon melayang turun dua sosok dara jelita berpakaian serba putih terbuat dari kulit kayu yang bagian atasnya berkilat-kilat. Dua gadis yang muncul itu berparas sama dengan rambut pirang panjang. Keduanya menimang-nimang jambu biji di tangan masing-masing. Bukan Luhjambu.
"Kalian!" Tegur Wiro dengan kaget, ingatannya langsung membayangkan kapan terakhir kali bertemu dengan dua gadis pirang ini. Dia ingat betul kejadian itu berlangsung di Latanahsilam.
"Wahai, sungguh membahagiakan bisa melihat seorang pemuda tampan kencing sembarangan" ucap gadis pirang di sebelah kanan, namanya Luhkemboja.
"Kau benar kakakku, bahagia sekali bisa melihat bulu jagung keriting serta terong gosong miliknya" si pirang sebelah kiri menimpali.
"Enak saja terong gosong! Bukankah kalian Sepasang Gadis Bahagia? Mau apa kalian menemuiku di sini?" Tanya Wiro dengan membentak tak senang, terus terang meski sukar dikatakan manusia jahat, namun Sepasang Gadis Bahagia ini bukan juga orang baik, Wiro ingat fitnahan keji dua gadis ini yang membuatnya apes di Latanahsilam, dua gadis tengil yang menuduhnya berbuat mesum dengan Luhjelita.
"Pantas saja di tanah Jawa tak kelihatan batang hidung dua perempuan tengik ini! Ternyata Batu Pembalik Waktu membuat mereka kesasar ke negeri ini!" Batin Wiro.
"Wahai, ini baru membahagiakan, lelaki itu masih ingat kepada kita adikku"
"Benar sekali, aku benar-benar bahagia. Mungkin dia kangen kepada kita hingga tak dapat melupakan Sepasang Gadis Bahagia" Luhkenanga menyahuti ucapan sang kakak, Luhkemboja.
"Dengar ya dua kembang kuburan! Siapa yang kangen dengan kalian?" Geram Wiro.
"Mungkin kangen kepada Luhjelita, gadis yang sempat kau ajak ah uh di dalam goa di Latanahsilam" Dua gadis kembali tertawa mengikik.
"Kurang ajar! Jangan bicara yang bukan-bukan!" Sangking jengkelnya Wiro langsung lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah, satu gelombang angin kuat laksana bongkahan batu siap menghantam dua gadis kembar.
Yang diserang kembali tertawa,
"Wahai sejuknya, aku benar-benar bahagia" Seru Luhkenanga yang terlihat sumringah meski bajunya mulai berkibar-kibar terpapar angin pukulan, lalu blesss cepat sekali dua gadis itu bergerak menghindar secara aneh, tubuh keduanya mengelak dengan gerakan tak menentu dengan tangan seperti seolah orang sedang menyelam di dalam air. Jurus "Bahagia Menyelam Sungai Menyambar Ikan"
Bahkan dengan jurus itu dua gadis pirang melempari Wiro dengan jambu biji yang tergenggam di tangan.
Wiro melesat ke udara, dua jambu biji lemparan Sepasang Gadis Bahagia lewat di bawah kakinya, dua buah jambu amblas langsung ke dalam tanah. Wiro berseru kaget karena tahu-tahu cepat sekali Sepasang Gadis Bahagia telah memapasi lompatannya, tiga tubuh melayang dengan dua posisi berbeda. Wiro tegak, sedangkan dua gadis bersikap seolah sedang duduk anteng, dan wusss dua pasang kaki menyepak ke depan tepat ke wajah Wiro.
"Bahagia Naik Pelaminan!" Seru Luhkemboja menyebut jurus serangannya barusan.
Wiro palangkan kedua tangannya yang telah dialiri tenaga dalam untuk melindungi wajah dari tendangan gadis kembar.
Bukkk, tangan dan kaki beradu, Wiro terpental, namun masih dapat mengimbangi diri, dengan berjungkir balik dia berhasil menjejak tanah dengan sempurna. Adapun Sepasang Gadis Bahagia juga lakukan hal yang sama, berjungkir balik buat mendarat.
"Gadis-gadis tengil! Kenapa kalian menyerangku?" Geram Wiro.
"Wahai sungguh tidak bahagia kami mendengarnya? Bukankah kau yang terlebih dahulu menyerang kami dengan pukulan yang mengeluarkan gilingan angin?" Kilah Luhkemboja.
"Omong kosong! Jelas-jelas tindak-tanduk kalian memang ingin mencelakaiku" Bantah Wiro pula.
"Ah syukurlah! Bahagia sekali jika kau telah mengetahuinya, jadi tak perlu susah-susah kami menjelaskannya" menimpali Luhkenanga.
"Bahagia kentut busuk!" Wiro menyumpahi.
"Katakan siapa yang menyuruh kalian?!" Dia yakin ada yang menyuruh dua perempuan ini buat mencelakainya.
"Dengan bahagia akan aku jawab, Pangeran tampan pujaan hati kami yang menyuruh" jawab Luhkenanga.
Mendengar jawaban itu, Wiro terperangah. "Bukankah dua gadis ini belok? Kenapa menyebut pangeran sebagai kekasihnya?" Pikir Wiro seraya menerka siapa pangeran yang dimaksud. Jika Pangeran Matahari masih hidup maka mungkin Wiro akan menuduhnya, namun bukankah pangeran durjana itu telah tewas di Bhumi Mataram Kuno? Apa mungkin arwahnya kembali bergentayangan untuk kesekian kalinya di negeri ini?
"Siapa pangeran itu?" Tanya Wiro dengan hati berdebar.
"Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya?" Ledek Luhkenanga sambil cibirkan bibir hingga Wiro menyumpah serapah. (Bahasa sengaja digaulkan sedikit buat pemanis dan pembeda, ya kawan).
"Pangeran kami itu ganteng sekali, jauh lebih ganteng darimu, dan pastinya dia tahu cara membahagiakan perempuan" jawab Luhkemboja menyahuti.
"Pangeran Matahari!" Tukas Wiro secara langsung.
"Matahari?" Dua gadis serta merta menengadah ke langit melihat mentari pagi yang cerah.
"Hikhikhik baru kali ini Matahari punya pangeran? Pasti orangnya hitam terpanggang matahari, terongnya pasti ikutan hitam kering kegosongan" Ujar Luhkenanga.
"Seperti pantat periuk" celetuk Luhkemboja pula. Dua gadis pun tertawa cekikian. Yang lucunya Wiro juga ikutan tertawa mendengar nama Pangeran Matahari diledek seperti itu.
"Kenapa tertawa?" Bentak Luhkenanga tiba-tiba.
"Karena bahagia" jawab Wiro pendek.
"Puas-puaslah berbahagia! Karena sebentar lagi kau akan kami buat menangis meratap-ratap!" Suara Luhkemboja juga mulai galak.
"Eh apa maksud kalian?" Bingung Wiro.
Sepasang Gadis Bahagia tak menjawab, namun mimik muka keduanya mengeras garang. Keduanya buat gerakan silat aneh, kedua tangan seperti orang yang sedang mengulurkan tali. Benar saja, dari masing-masing tangan dua gadis ini menyambar cepat dua jalur sinar putih laksana tali sungguhan.
"Jerat Bahagia Mengikat Monyet!" Seru Luhkemboja menyebut jurusnya.
Kalau saja tidak merasa terancam, Wiro pasti sudah tertawa meledek nama jurus itu yang terdengar ganjil. Dua tali sinar itu menyambar cepat ingin menjerat tubuh Wiro dari dua jurusan, tali sinar milik Luhkemboja menuju leher, sedangkan milik Luhkenanga menuju kaki.
Wiro berkelit dengan menggeser tubuh, namun pendekar 212 berseru kaget tatkala dua jerat sinar itu juga mengejar mengikutinya. Wiro melirik Sepasang Gadis Bahagia, terlihat jari jemari mereka bertindak seolah menarik dan mengulur-ulur sinar itu. Persis seperti gerakan dua bocah bermain layang-layang. Jerat sinar itu mengikuti gerak-gerik jari keduanya.
Di satu kesempatan Wiro melenting ke udara. Seperti dugaan Wiro, dua sinar panjang seperti tali itu juga mengejarnya ke udara. Kali ini Wiro tak tinggal diam, tiga perempat tenaga dalam dikerahkan dan dialirkan ke tangan kiri kanan. Kedua tangan itu telah dialiri aji kesaktian pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah. Wusss, dua sinar putih berkiblat menukik.
Satu sinar menerjang ke arah dua sinar berbentuk tali, dan satu sinar lagi menghantam ke arah dua gadis kembar.
Dua ledakan terdengar dahsyat mengguncang pagi. Dua sinar jerat tali saling bentrokan dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah. Dua sinar itu tercabik-cabik, lalu laksana tali sungguhan, sinar panjang itu putus di beberapa bagian dan luruh ke tanah.
Sepasang Gadis Bahagia terpekik kaget karena melihat ada satu sinar lain mengarah pada mereka, keduanya kocar-kacir selamatkan diri. Luhkenanga melompat ke kiri, sedangkan sang kakak melompat ke kanan. Blarrr, lagi-lagi suara ledakan. Pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah mengenai tanah dimana kedua gadis tadi berada. Lobang cukup besar sedalam lutut tercipta, tanah bermuncratan dan jatuh luruh, sebagian mengenai pakaian dua gadis kembar hingga baju putihnya menjadi kotor. Dua perempuan itu rasakan dada masing-masing mendenyut sakit, tatkala keduanya meludah, ternyata telah bercampur darah.
"Wahai pemuda gondrong ini tinggi sekali tenaga dalamnya" Luhkemboja diam-diam mengeluh.
Wiro sendiri telah menjejak tanah, dengan langkah tegap dia mendatangi Luhkenanga yang masih megap-megap karena kalah adu tenaga dalam.
"Bagaimana? Masih mau main-main lagi? Sekarang katakan siapa Pangeran yang menyuruh kalian?!" Bentak Wiro seraya sedikit mengancam.
"Wahai kenapa tidak enak sekali rasanya. Kakakku aku tidak bahagia" keluh Luhkenanga.
"Diam! Masih sempatnya kalian berbicara membahas bahagia? Dengar perempuan tengik! Jika kalian tak menjawab pertanyaanku, maka aku akan menggantung kalian di pohon itu. Kaki diatas kepala dibawah, biar kalian jadi hantu sungsang penghuni pohon!" Ancam Wiro.
Sepasang Gadis Bahagia saling melirik. Wiro tidak main-main, dia menyeret Luhkenanga kedekat sang kakak. Lalu dua perempuan itu kembali diseret menuju pohon besar dimana tadi mereka muncul. Pohon itu sedikit gundul sekarang dengan beberapa cabang kecil berpatahan karena sempat terhantam Pukulan Kunyuk Melempar Buah tadi.
"Wahai, apa yang akan kau lakukan?" Gelisah Luhkenanga sambil mencoba mengobati luka dalamnya dengan aliran hawa sakti, namun akan butuh waktu cukup lama untuk memulihkan diri. Begitupun dengan sang kakak.
"Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya?" Ledek Wiro meniru ucapan salah seorang gadis kembar saat meledeknya diawal perseturuan mereka hari ini.
Wiro memutar mata mencari-cari tanaman merambat yang bisa dijadikan tali pengikat, saat itu pula tiba-tiba dia mendengar satu suara seperti ribuan tawon mengamuk. Satu sinar putih berkiblat. Wiro kenal suara itu. Kapak Maut Naga Geni 212.
"Gusti Allah! Syukurlah!" Seru Wiro girang karena menemukan senjata andalannya itu yang tengah melayang-layang di udara menuju ke arahnya. Wiro ingin segera melompat untuk menangkap menyambut kapak miliknya namun, wutttt kapak maut itu bergerak cepat seolah dikendalikan satu kekuatan tak terlihat, senjata itu menjadi liar dan siap membabat leher sang pemilik sendiri.
"Kapak Naga Geni! Kau kenapa?" Kaget Wiro, secepat kilat dia jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Crass, beberapa helai rambut gondrongnya terbabat putus Tengkuknya dingin tatkala menyadari baru saja selamat dari maut senjata makan tuan. Kalau tidak pasti kepalanya telah lepas dari leher.
Wiro meski heran cepat bangkit dan pasang kuda-kuda kokoh untuk menyambut kapaknya yang menjadi liar. Saat itulah dia menyadari bahwa Sepasang Gadis Bahagia telah lenyap.
Suara seperti tawon mengamuk kembali menyerang, kapak Naga Geni berputar-putar laksana baling-baling dan kembali melesat ingin memenggal leher Wiro. Bahkan separuh jalan kapak sakti miliknya itu berubah diselimuti api panas menyala.
"Edan! Setan apa yang merasuki kapakku itu!" Akhirnya tak ada pilihan, dari pada tewas karena senjata makan tuan, Wiro pun harus melawan senjatanya sendiri. Tak tanggung-tanggung, langsung dengan pukulan Sinar Matahari. Inilah kali pertama terjadi, Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua berhantaman dengan Pukulan Sinar Matahari. Hasilnya benar-benar dahsyat, suara ledakan hebat terdengar bertubi-tubi bagaikan sambaran belasan petir, tanah bergoyang-goyang laksana dilanda gempa. Hawa panas merebak. Percikan api bertebaran tak tentu arah, yang sialnya sempat menyambar Wiro, untung saja cuma kena lengan bajunya hingga bolong. Beberapa pohon tumbang dalam keadaan terbakar.
***
Bersambung

Buku Lainnya


Komentar :